Film-film bergenre Horor dengan sentuhan adegan-adegan vulgar masih menghiasi gedung-gedung bioskop kita sampai menjelang pertengahan 2011 ini. Sangat menyedihkan memang melihat deretan film dipajang di bioskop grup 21 dengan judul-judul yang semakin hari seperti melecehkan intelektualitas bangsa ini. Apa yang anda pikirkan saat mendengar judul Kuntilanak Kesurupan atau Pocong Ngesot? Sudah terlalu mengada-ada dan tidak masuk akal lagi bukan? Apakah mereka kehabisan ide atau memang sengaja melakukan itu, entahlah. Tetapi untungnya kita masih memiliki banyak pembuat film yang peduli dengan kemajuan industri ini secara positif. Kita punya Mira Lesmana, Riri Riza, Nia Dinata, Joko Anwar, dan masih banyak lagi, yang terus berusaha mencari, membuat dan memberikan film-film karya terbaik mereka.
FFI yang mestinya menjadi barometer kualitas (berharap mengkatrol kuantitas film) justru selalu berakhir dengan kontroversi yang tak kunjung henti. Bahkan keakuratan penilaianpun diragukan karena banyak campur tangan pihak-pihak yang memilik kepentingan tertentu. Hanya tiga kali sejak diselenggarakan kembali, FFI mendapatkan apresiasi pembuat film lokal yaitu antara 2004 hingga 2006. Penghujung 2006 penetapan Ekskul sebagai film terbaik justru menimbulkan masalah pelik. Bagaimana tidak? Ekskul terbukti melakukan pelanggaran hak cipta untuk penata musiknya. Kelompok sineas muda Indonesia merasa dikhianati ini akhirnya mengembalikan piala Citra yang telah mereka raih. Para pembuat film yang tergabung dalam MFI (Masyarakat Film Indonesia) ini juga bersepatat untuk tidak lagi mendaftarkan film-film mereka ke FFI. Uniknya film-film tersebut justru sukses mendapatkan berbagai penghargaan dari festival-festival film internasional. Sebut saja dwilogi Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi karya Riri Riza.
Kemenangan Uncle Boonme Who Can Recall His Past Lives (2010) karya pada Cannes 2010 sebagai film terbaik mestinya menjadi penyemangat buat film-maker kita untuk terus berkarya. Bagaimana tidak? Thailand yang secara budaya tidak terlalu jauh berbeda dengan kita berhasil mengukuhkan salah satu film dan sutradaranya pada sejarah film-film terbaik dunia. Tidak hanya Thailand, Philiphina yang industri filmnya tidak begitu menonjol justru telah terlebih dahulu mendapatkan perhatian Cannes dengan film Kinatay (2007) dan Serbis (2008) karya Briliante Mendoza. Cannes menjadi sorotan dan kebanggaan karena telah menjadi salah satu festival film paling tua dan solid di dunia. Tentu menjadi bagian Cannes merupakan kebanggaan tersendiri. Film Indonesia Daun di Atas Bantal (1998) dan Kara Anak Sebatang Pohon (2005) pernah menjadi bagian dari festival besar ini, meskipun belum untuk film yang berkompetisi atau official selection.
Belum menjadi bagian Cannes secara resmi tentu tidak mengurangi kebangggaan kita pada para pembuat film nasional. Masih banyak festival film internasional lain yang telah dengan nyata memberikan respon positif dan penghargaan pada banyak film nasional, yang memang secara resmi dikirimkan untuk berpartisipasi.
Berikut ini saya merangkum prestasi-prestasi para pembuat film kita dari beberapa festival dan penghargaan film internasional kurang lebih10 tahun terakhir ini:
Madame X (2010) adalah debut penyutradaraan Lucky Kuswandi yang menjadi official selection pada Hongkong International Film Festival 2010 serta mendapatkan nominasi best production design untuk Eros Eflin dan best supporting actress untuk Shanty pada Asian Film Awards 2011.
Rumah Dara (2010) merupakan debut penyutradaraan Mo Brothers, film ini adalah versi panjang dari film pendek mereka sebelumnya Dara, yang menjadi bagian antologi Takut (2007). Shareefa Daanish yang memerankan Dara berhasil mendapatkan Best Actrees pada Puchon International Fantastic Film Festival (PiFan) 2009 di Korea Selatan.
Garuda di Dadaku (2009) hasil karya duet Salman Aristo dan Ifa Isfansyah yang diproduseri oleh Shanty Harmain diberikan penghargaan Best Film pada penyelenggaraan ke 6 Children and Youth Armenia International Film Festival 2010.
Sang Pemimpi (2008) yang merupakan sekuel Laskar Pelangi (2007) berhasil memboyong Audience Award dari Udine Far East Film Festival 2010 di Italia dan NETPAC Critics Jury Award dari Singapore International Film Festival 2010. Dan yang paling terbaru adalah berhasil meraih Premio Juvenile Award Fici Children Intenational Film Festival Madrid 2010.
Merantau (2009) menjadi Best Film ActionFest International Film Festival 2010? Sebuah penghargaan film aksi tahunan yang digelar di Asheville, North Carolina Amerika Serikat pada 15-18 April 2010. Merantau berhasil mengungguli kandidat lainnya seperti film silat Hong Kong yang dibintangi Donnie Yen, 14 Blades.
Jamila dan Sang Presiden (2009) karya Ratna Sarumpaet yang pernah dikirim untuk Academy Award Best Foreign Film 2009 menyabet dua penghargaan dalam Asian Film Festival Vesoul 2010 di Perancis. Dua penghargan itu yakni Prix de Public dan Prix Jury Lycen. Penghargaan lain adalah Best Original Score Asia Pacific Film Festival 2010 untuk Thoersi Argeswara.
Perempuan Berkalung Surban (2009) karya Hanung Bramantyo menerima penghargaan Best Supporting Actress Asia Pacific Film Festival 2010 untuk aktris senior Widyawati
Pintu Terlarang (2009) karya terakhir Joko Anwar menjadi Best Film dalam Puchon International Fantastic Film Festival 2009 dan official selection Golden Kinnaree Award untuk Bangkok International Film Festival 2009. Bahkan pada tahun 2009 film ini menjadi salah satu dari 100 film terbaik dunia versi majalah “Sight and Soung” Inggris.
Tiga Doa Tiga Cinta (2008) karya perdana Nurman Hakim dinominasikan sebagai Best Children’s Feature Film pada Asia Pacific Screen Awards 2009. Meraih Grand Prize of International Jury pada Vesoul Festival of Asian Cinema 2009.
Laskar Pelangi (2007) adalah adaptasi dari novel berjudul sama oleh Riri Riza dan Mira Lesmana yang mendapatkan nominasi untuk 2 Kategori utama pada penyelenggaraan ke 3 Asian Film Awards yang digelar di Hongkong, yaitu Best Editing untuk Dono Waluyo dan Best Film. Untuk nominasi film terbaik Laskar Pelangi bersanding dengan Ponyo (Jepang), The Good the Bad the Weird (Korea Selatan), Tokyo Sonata (Jepang), Red Cliff (Hongkong) dan Forever Entralled (China). Laskar Pelangi juga mendapatkan Signis Award dalam Hongkong International Film Awards 2009. Penghargaan The Golden Butterfly Award untuk kategori film terbaik di International Festival of Films for Children and Young Adults, di Hamedan, Iran. Awal tahun 2010 lalu film ini kembali mendapatkan penghargaan, kali ini untuk Cut Mini sebagai Best Actress pada Brussels International Independent Film Festival. Dan yang paling terbaru adalah menjadi Best Film pada Asia Pacific Film Festival 2010.
The Blind Pig Who Wants to Fly (2008) adalah feature film perdana karya Edwin. Film yang di bintangi oleh Ladya Cheryl ini juga menjadi Official Selection dalam Pusan International Film Festival 2008, menjadi official selection Tiger Award Competition pada 2009 Rotterdam Film Festival dan mendapat penghargaan untuk Fipresci Prize, pada festival yang sama. Penghargaan Firepsci Prize kembali diraih film ini dari Singapore International Film Festival 2009, selain itu. Serta meraih Silver Montgolfiere dan Young Audience Award dari Nantes Three Continent Festival 2009.
Fiksi (2008) yang merupakan film feature perdananya Mouly Surya, memenangkan penghargaan Best Director dari Jakarta International Film Festival 2008 untuk Indonesia Feature Film Competition. Selain itu Fiksi juga diputar dibeberapa festival film international lainnya seperti di Pusan International Film Festival, NewYork Asian Film Festival.
The Photograph (2007) dibesut oleh sutradara wanita, Nan T. Achnas yang dibintangi oleh aktor senior Singapore Lim Khay Thong dan Shanty ini menyabet dua penghargaan pada penyelenggaraan ke 43 Karlovy Vary International Film Festival yang diselenggarakan tanggal 4-12 July 2008 di Karlovy Vary, Republik Ceko. The Photograph menyabet Special Jury Prize yang merupakan pemenang kedua dan penghargaan Ecumenical Jury Award di festival film paling bergengsi di Republik Ceko. Film The Photograph tersebut merupakan satu-satunya film dari Asia yang mendapat dua penghargaan sekaligus.
Tiga Hari untuk Selamanya (2007) dari sutradara Riri Riza menerima Best Director dari Brussels International Independent Film Festival 2008.
Opera Jawa (2006) dari Sutradara Garin Nugroho memenangkan Best Original Score untuk Rahayu Supanggah pada penyelengaraan perdana Asian Film Awards 2007. Opera Jawa juga dinominasikan untuk Best Film yang bersaing dengan The Host (Korea), Love and Honor (Jepang), Exiled (Hongkong), Still Life (China) dan Curse of the Golden Flower (China). Nominasi Best Film dari Asia Pacific Screen Awards 2007. Menang Silver Screen Award Singapore International film Festival 2007. Serta juga menerima penghargaan Best Actress untuk Artika Sari Devi pada Brussels International Independent Film Festival 2008.
Denias Senandung di Atas Awan (2006) karya Jhon de Rantau berhasil menjadi yang terbaik untuk kategori Best Children’s Feature Film Asia Pacific Screen Awards 2007 serta meraih Best Film pada Indonesia Feature Film Competition Jakarta International Film Festival 2006.
Berbagi Suami (2006) yang didaftarkan untuk Academy Awards Best Foreign Film 2007, mendapat penghargaan Golden Orchid Award sebagai film terbaik pada Hawaii International Film Festival 2006, mengalahkan film-film dari 47 negara yang berkompetisi. Sementara di Belgia pada Brussel International Independent Film Festival 2007, Nia Dinata dipredikatkan sebagai Best Director (Prix de la meilleure Réalisation).
Gie (2005) yang diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran karya sutradara Riri Riza, mendapatkan Best Asian Feature Film pada Singapore International Film Festival 2006 dan Special Jury Award dari Asia Pacific Film Festival 2006
Janji Joni (2005) karya perdana Joko Anwar mendapatkan penghargaan Best Editing pada Asia Pacific Film Festival 2005
Banyu Biru (2005) dari sutradara Teddy Soeriaatmadja menerima Most Promosing New Actress untuk Dian Sastrowardoyo Asia Pacific Film Festival 2005.
Ungu Violet (2005) debut penyutradaraan Rako Prijanto menerima Best Supporting Actress untuk aktris senior, Rima Melati dan nominasi Best Actress untuk Dian Sastrowardoyo
Kara Anak Sebatang Pohon (2005) karya Edwin menjadi film pendek Indonesia pertama yang secara resmi diputar pada Cannes Film Festival 2005 untuk Director’s Fortnight
Rindu Kami Padamu (2004) karya Garin Nugroho meraih penghargaan Best Film Cinefan – Festival of Asian and Arab Cinema 2005.
Impian Kemarau (2004) karya sutradara Ravi Bharwani meraih penghargaan Asian New Talent Award pada Shanghai International Film Festival 2004. Film ini juga mendapatkan nominasi Best Film pada Pusan International Film Festival, Bangkok International Film Festival dan Vladuvostok International Film Festival. Selain itu juga menjadi Official Selection pada Rotterdam International Film Festival, Barcellona Asian Film Festival, Split International Festival of New Film, Zanzibar International Film Festival dan Cork International Film Festival.
Biola tak Berdawai (2003) yang merupakan debut Sekar Ayu Asmara menerima penghargaan Best Actress pada Asia Pacific Film Festival 2003. Tahun 2004 film ini dipilih untuk mewakili Indonesia untuk Academy Awards Best Foreign Film.
Ca Bau Kan (2002) adalah adaptasi dari novel berjudul sama karya Remy Silado yang juga merupakan debut penyutradaraan Nia Dinata. Nia meraih penghargaan Best New Director pada Asia Pacific Film Festival 2002. Film ini juga menerima penghargaan Best Art Direction untuk ? pada festival yang sama.
Eliana-Eliana (2002) karya Riri Riza mendapatkan penghargaan Best New Director pada Singapore International Film Festival 2002, serta penghargaan Dragon & Tiger Awards pada Vancouver International Film Festival 2002. Jajang C. Noer yang berperan sebagai ibu dari Eliana menerima penghargaan Best Actress pada Cinemaya Festival of Asian Cinema 2002 di New Delhi, India. Sedangkan untuk duet akting cemerlang Rachel Maryam dan Jajang C. Noer juga menerima penghargaan Best Actress pada Daeuville International Film Festival 2003.
Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) karya sutradara Garin Nugroho yang dibintangi aktris Lulu Tobing menerima penghargaan Netpac Award Berlin International Film Festival 2003
Pasir Berbisik (2001) yang merupakan karya kedua Nan T. Achnas setelah Kuldesak (199) menerima Most Promosing Director, Best Cinematography untuk Yadi Sugandi dan Best Sound untuk Phil Judd dan Hartanto dari Asia Pacific Film Festival 2001. Film ini juga menerima Netpac Award Special Mention pada Brisbane International Film Festival 2002, Fipresci Award pada Oslo Films from the South Festival 2002 dan Asian Trade Winds Special Jury pada Seattle International Film Festival 2002. Aktris Dian Sastrowardoyo yang berperan sebagai menerima penghargaan Best Actress pada Deauville Asian Film Festival 2002, di Perancis dan Singapore International Film Festival 2002, selain juga nominasi untuk Best Asian Feature pada festival yang sama. Film ini menjadi Official Selection pada Rotterdam Film Festival 2002.
Puisi Tak Terkuburkan (2000) karya sutradara Garin Nugroho mendapatkan penghargaan Silver Leopard Locarno International Film Award 2000 dan Nominasi Silver Screen Award pada Singapore International Film Festival