Director & Screenplay:
Kim Tae Gyun
Cast :
Cha In Pyo – Yoong Soo
Shin Myeong Cheol – Yoong Soo’s Son
Seo Yeong Hwa – Yoong Soo’s Wife
Crossing atau yang berjudul asli Keurossing ini bersetting tiga negara yaitu Korea Utara, China dan Korea Selatan pada tahun 2007. Tema film berkutat pada perjuangan hidup manusia yang terjebak pada konflik politik negaranya menjadi polemik cukup menarik. Mungkin dengan alasan latar belakang ini membuat tim seleksi film-film Korea Selatan memilih film ini untuk Oscar pada tahun 2009 lalu, meskipun gagal mendapatkan perhatian juri Oscar.
Film ini menjadi identitas Korea Selatan memandang betapa buruknya negara tetangga yang merupakan “saudaranya” ini. Korea Utara digambarkan sebagai negara yang gagal memberikan kesejahteraan pada penduduknya, tentu ini menuding kegagalan sistem sosialis yang diterapkan. Kemiskinan mendera sebagian besar penduduknya. Wanita dan anak-anak dipaksa menjadi buruh. Mengadaptasi kisah kehidupan dengan latar belakang kemiskinan tentu akan banyak memperlihatkan ritme-ritme kesedihan yang begitu menyentuh penonton. Sebuah kisah keluarga kecil sederhana dan hangat begitu terasa diawal film, meskipun mereka harus hidup miskin dibawah tekanan partai komunis yang menguasai korea utara.
Film ini menjadi identitas Korea Selatan memandang betapa buruknya negara tetangga yang merupakan “saudaranya” ini. Korea Utara digambarkan sebagai negara yang gagal memberikan kesejahteraan pada penduduknya, tentu ini menuding kegagalan sistem sosialis yang diterapkan. Kemiskinan mendera sebagian besar penduduknya. Wanita dan anak-anak dipaksa menjadi buruh. Mengadaptasi kisah kehidupan dengan latar belakang kemiskinan tentu akan banyak memperlihatkan ritme-ritme kesedihan yang begitu menyentuh penonton. Sebuah kisah keluarga kecil sederhana dan hangat begitu terasa diawal film, meskipun mereka harus hidup miskin dibawah tekanan partai komunis yang menguasai korea utara.
Yong Soo (Cha In Pyo) bekerja sebagai buruk kasar pabrik. Bersama istri (Seo Yeong Hwa) dan anak laki-laki tunggalnya (Shin Myeong Cheol) mereka menghadapi hidup dengan kemiskinan yang begitu berat. Tetapi dengan begitu sangat terasa sekali Yong Soo berhasil menjaga kehangatan bersama istri dan anaknya. Kebiasaan bermain bola bersama sang anak dan anjing kesayangan mereka menjadi hiburan tersendiri. Sampai kemudian dia menemukan istrinya dalam keadaan sakit parah padahal sedang hamil.
Tidak tahus harus berbuat apa, Soo memutuskan menjual anjing demi makanan yang lebih enak dan bergizi. Hal ini ditentang oleh anaknya, dia bahkan memuntahkan makanan enak yang sedang dimakan. Inilah awal ketidakharmonisan mereka. Tergoda dengan cerita dan kesuksesan orang-orang yang pulang dari perbatasan China, Soo memutuskan untuk mencoba, demi bisa mendapatkan obat untuk penyakit sang istri dan memperbaiki taraf hidup tentunya. Dia berjanji akan cepat pulang, membelikan sepatu bola untuk anaknya dan meminta sang anak untuk santun menjaga ibunya.
Usaha masuk ke daratan China juga tidaklah mudah. Sebagai pendatang gelap Soo tentu harus bermain-main dengan keselamantannya sendiri. Meskipun akhirnya dengan selamat Soo masuk dan mendapat tampungan dan pekerjaan yang juga banyak imigran gelap Korea Utara. Mendapatkan kesempatan untuk bekerja tentu Soo memanfaatkan dengan sebaiknya, sambil tetap berusaha mencari obat untuk istrinya. Tetapi semua tidak selalu seperti apa yang direncanakan, dan nasip sepertinya sedang tidak berpihak padanya. Istri yang ditinggalkan mulai sakit semakin parah dan tak lama kemudian akhirnya meninggal. Tinggalah sang anak sendiri yang bertekad untuk mencarinya ke perbatasan Korea Utara-China. Sedangkan Soo sendiri harus menghadapi polisi imigrasi yang hampir selalu melakukan razia para pendatang tanpa dokumen. Soo tertangkap, dengan birokrasi yang sulit dan membuatnya memohon pada banyak pihak, berusaha untuk pulang. Soo akhirnya dideportasi ke Korea Selatan.
Disinilah perjuangan ayah dan anak ini untuk saling bertemu dimulai, dan semua tidak mudah, apalagi sebagai warga kelas tiga yang selalu menjadi prioritas terakhir untuk di bantu. Sang anakpun begitu, usahanya untuk bertemu dengan ayahnya harus membuatnya menjadi gelandangan dan dipaksa sebagai buruh pekerja dibawah umur pada sebuah pabrik. Nasip baik akhirnya mulai kembali pada mereka karena akhirnya ada pihak yang dengan baiknya membantu untuk mempertemukan mereka. Dengan latar belakang hubungan Korea Selatan dan Utara diperlihatkan begitu tidak baik, berat bagi Soo untuk bisa meminta bantuan dari banyak pihak untuk membawa anaknya ke Selatan. Berbagai macam tuntutan birokrasi dan biaya dia keluarkan supaya bisa bertemu lagi dengan anaknya.
Usaha masuk ke daratan China juga tidaklah mudah. Sebagai pendatang gelap Soo tentu harus bermain-main dengan keselamantannya sendiri. Meskipun akhirnya dengan selamat Soo masuk dan mendapat tampungan dan pekerjaan yang juga banyak imigran gelap Korea Utara. Mendapatkan kesempatan untuk bekerja tentu Soo memanfaatkan dengan sebaiknya, sambil tetap berusaha mencari obat untuk istrinya. Tetapi semua tidak selalu seperti apa yang direncanakan, dan nasip sepertinya sedang tidak berpihak padanya. Istri yang ditinggalkan mulai sakit semakin parah dan tak lama kemudian akhirnya meninggal. Tinggalah sang anak sendiri yang bertekad untuk mencarinya ke perbatasan Korea Utara-China. Sedangkan Soo sendiri harus menghadapi polisi imigrasi yang hampir selalu melakukan razia para pendatang tanpa dokumen. Soo tertangkap, dengan birokrasi yang sulit dan membuatnya memohon pada banyak pihak, berusaha untuk pulang. Soo akhirnya dideportasi ke Korea Selatan.
Disinilah perjuangan ayah dan anak ini untuk saling bertemu dimulai, dan semua tidak mudah, apalagi sebagai warga kelas tiga yang selalu menjadi prioritas terakhir untuk di bantu. Sang anakpun begitu, usahanya untuk bertemu dengan ayahnya harus membuatnya menjadi gelandangan dan dipaksa sebagai buruh pekerja dibawah umur pada sebuah pabrik. Nasip baik akhirnya mulai kembali pada mereka karena akhirnya ada pihak yang dengan baiknya membantu untuk mempertemukan mereka. Dengan latar belakang hubungan Korea Selatan dan Utara diperlihatkan begitu tidak baik, berat bagi Soo untuk bisa meminta bantuan dari banyak pihak untuk membawa anaknya ke Selatan. Berbagai macam tuntutan birokrasi dan biaya dia keluarkan supaya bisa bertemu lagi dengan anaknya.
Dari sudut pandang Korea Selatan, berhubungan dengan Korea Utara adalah seperti sebuah kesalahan. Bahkan Tae Gyoon (sutradara) berani memberikan gambaran kekerasan berujung kematian yang dilakukan berkali-kali oleh tentara-tentara Korea Utara. Terlepas dari adegan kekerasan dan penganiayaan yang ditampilkan dalam film, kisah ini tidak mengada-ada karena memang Korea Utara menutup hubungan rapat-rapat dengan saudaranya di Selatan. Kisah ini tentu menjadi pengalaman yang sangat personal bagi banyak warga kedua negara ini terpisah oleh kebencian yang dibangun oleh Pemerintah mereka.
Ketiga pemain utama film ini, Cha In Pyo, Seo Yeong Hwa dan Shin Myeong Cheol tampil cemerlang. Terutama Myeong Cheol yang berperan sbg anaknya memperlihatkan dengan lugu, iklas dan perjuangan tiada henti untuk mencari ayahnya. Akting Cha In Pyo dan Myeong Cheol memperlihatnya hubungan chemistry yang begitu kuat. Salah satu scene yang mempelihatkan hubungan begitu kuat antara mereka adalah ketika Soo berhasil setelah sekian lama tidak bertemu, berbicara dengan anaknya melalui telpon genggam, sangat menyentuh.
Bertemukah Soo dengan sang buah hati? Tentu ending film ini dinantikan semua penonton yang telah dibuat sedih sepanjang film, dan kisah “pertemuan” tersebut disimpan untuk mengakhiri melodrama ini. Bahkan adegan-adegan menjelang pertemuan Soo dengan anaknya ditampilkan dengan rintangan-rintangan yang makin sulit untuk mereka lalui.
Sinematografi beauty shot ditampilkan pada adegan-adegan padang rumput gersang luas dan seperti tidak berbatas yang menjadi batas Selatan dan Utara. Secara sinematografi Korea Selatan ditampilkan dengan warna-warna cerah sedang Korea Utara ditampilkan dengan warna yang suram, panas dan gersang. Jika boleh berasumsi, untuk syuting dgn setting Selatan menggunakan film 35 dan untuk syuting Utara dengan film 16. Atau mungkin editor menurunkan tone warna saat pasca produksi film ini untuk Utara. Ilustrasi musik berhasil mengiringi kisah menyayat hati ini menjadi semakin mengacak-acak emosi penonton.
Inilah film yang dengan sangat lugas memberikan kita gambaran bagaimana hubungan antara dua negara yang sebenarnya bersaudara ini, diwakilkan pada cerita "perih" pengorbanan ayah dan anak ini. 8/10
Sinematografi beauty shot ditampilkan pada adegan-adegan padang rumput gersang luas dan seperti tidak berbatas yang menjadi batas Selatan dan Utara. Secara sinematografi Korea Selatan ditampilkan dengan warna-warna cerah sedang Korea Utara ditampilkan dengan warna yang suram, panas dan gersang. Jika boleh berasumsi, untuk syuting dgn setting Selatan menggunakan film 35 dan untuk syuting Utara dengan film 16. Atau mungkin editor menurunkan tone warna saat pasca produksi film ini untuk Utara. Ilustrasi musik berhasil mengiringi kisah menyayat hati ini menjadi semakin mengacak-acak emosi penonton.
Inilah film yang dengan sangat lugas memberikan kita gambaran bagaimana hubungan antara dua negara yang sebenarnya bersaudara ini, diwakilkan pada cerita "perih" pengorbanan ayah dan anak ini. 8/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar