Director : Cesar Charlone & Enrique Fernandez
Cast : Cesar Troncoso, Virginia Mendez dan Virginia Ruiz
Film ini adalah adaptasi kisah masyarakat di Melo, sebuah kota kecil di perbatasan Brasil dan Uruguay ketika kunjungan Paus Johannes Paulus II tahun 1988. Membuat kisah fiksi dengan latar belakang kejadian nyata sudah menjadi komoditi banyak produksi film. Dari dalam negeri sendiri kita mengenal May (2008) yang mengambil latar belakang kerusuhan Jakarta 1998. Contoh lain adalah karya terbaru dari Clint Eastwood, Hereafter (2010), film ini berlatar belakang bencana Tsunami yang melanda Asia Tenggara tahun 2004 silam.
Mari kita kembali pada The Pope’s Toilet. Film ini adalah karya perdana Cesar Charlone dan Enrique Fernandaz. Charlone sebelumnya lebih dikenal sebagai director of photography. City of God (2002) adalah salah satu dari begitu banyak film-film produksi Brazil yang memanfaatkan “tangan dinginnya” memegang kamera. Kerjanya pada film itu memberinya nominasi Oscar untuk penata kamera terbaik. Berbekal pengalaman banyak memegang kamera, Charlone memulai karier barunya sebagai sutradara dengan film ini, dan langkah itu tidak salah. Film ini menuai banyak pujian, salah satunya berhasil menjadi Un Certain Regard Cannes 2008.
The Pope’s Toilet atau El Bano del Papa berkisah pada perjuangan hidup Beto (Cesar Troncoso), istrinya Carmen (Virginia Mendez) dan anak perempuan tunggal mereka Silvia (Ruiz) hidup dengan kemiskinan di Melo, daerah perbatasan Uruguay dan Brasil. Sehari-hari Beto harus membangun keberanian untuk bisa luput atau menghadapi pemeriksaan dari polisi-polisi perbatasan karena aktivitasnya menjadi pemasok berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Setiap hari Beto mengayuh sepeda tuanya menapaki jalanan pasir melintasi perbatasan untuk memenuhi permintaan pemilik toko demi persediaan kebutuhan pokok yang hanya tersedia di daerah perbatasan bagian negara Brasil.
Berita mengenai kunjungan Paus ke Melo, memberi ide cemelang pada Beto dan didukung penuh oleh istrinya. Dia akan mendirikan sebuah “toilet untuk Paus”. Ide cemerlang itu muncul karena sebuah informasi dari televisi, bahwa kota kecil itu akan disesaki 50.000 wisatawan dari Brasil dan Uruguay yang datang untuk mendengarkan khutbah akbarnya Paus selama kunjungan.
Kedatangan Paus tentu menjadi aset berharga bagi masyarakat Melo. Bagi pemeluk Katholik taat ini menjadi berkah kemuliaan hidup. Sedangkan bagi sebagian lagi menjadi lahan untuk memperbaiki taraf hidup dengan mempersiapkan diri membuka berbagai jenis usaha bagi para pengunjung yang akan datang.
Selanjutnya adalah bagaimana Beto berjuang sekuat tenaga untuk merealisasikan idenya itu. Karena memang tidak mudah. Usahanya mendapatkan sebuah closet untuk ide toiletnya mengalami banyak rintangan. Masalahnya datang dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli closet dengan kemiskinan yang menjadi isu utama hidup mereka. Toilet itu harus selasai sebelum Paus datang.
Justru inilah benturan yang kemudian terjadi. Kunjungan seorang Paus pada daerah miskin, tentu diharapkan mendatangkan kemuliaan, tetapi kenapa kemudian justru terjadi sebaliknya. Ironi ini terjadi pada Beto, juga pada sebagian besar penduduk Melo. “Kemualiaan” kunjungan Paus justru menjadi titik awal kehidupan mereka semakin memprihatinkan. Kedatangan Paus kemudian hanya meninggalkan beban makin berat pada hidup mereka, hanya menyisakan hati yang sesak, amarah dan sikap anti Paus yang kemudian diperlihatkan Beto diakhir film.
Inilah kisah perjuangan untuk menuju hidup yang lebih baik lagi. Sebuah ide sederhana untuk memperbaiki taraf kehidupan tanpa menjual mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih. Berusaha sesederhana mungkin untuk mewujudkan semua dengan usaha yang bahkan tidak sederhana lagi (jika sudah mengarah pada kriminal).
Film ini mempertanyakan apakah saat kita begitu dekat dengan seorang yang “kita tunjuk” mulia dihadapan Tuhan dan kemuliaan itu akan menghampiri hidup kita?. Bahkan tanpa keinginan perbaikan kehidupan yang muluk-muluk, hanya berupaya membuatnya sedikiti lebih baik saja. Tetapi saat Tuhan berkat “tidak/belum” untuk rejeki yang lebih baik, bagaimana mestinya sebagai hambaNya kita menghadapi?. Berusaha bijak menerima kenyataan dan tetap menjadi hambaNya yang setia. Atau justru memilih menjadi kafir dan membenciNya. Pilihan tentu diserahkan pada kita. Dalam film ini pilihan terakhir adalah hidup Beto selanjutnya.
Beberapa poin penting yang membuat film ini bagus adalah Naskah film yang provocatif (menjelang film berakhir penoton “dipaksa” berpihak pada Beto yang mempertaruhkan keimanannya). Pemanfaatan beberapa footage asli kunjungan Paus. Sinematografi landscape perbatasan Brasil-Uruguay yang indah menjadi ironi terhadap kemiskinan penduduknya dan tentu adalah Akting memikat dari Cesar Troncoso yang memerankan Beto.
Selain sukses di Cannes, film ini juga meraih penghargaan dari beberapa festival film dunia. Horizon Awards dari San Sebastian International Film Festival 2007. Best first work dari Guadalajara Internatinal Film Festival 2008 dan Lleida Latin American Film Festival 2008. Film, Aktor, Aktris dan Naskah terbaik dari Gramado Film Festival Brazil 2007. Serta mendapatkan 4 nominasi pada perhelatan Oscarnya Brazil, Cinema Brasil Grand Prize 2009 untuk film, aktor, naskah dan sinematografi terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar