Senin, 05 Maret 2012

12 Film Pilihan 2011

1.      The Tree of Life (UK)
Director: Terrence Malick
Jika film bisa menjadi puisi, maka film Terrence Malick, The Tree of Life, adalah salah satu film tersebut. The Tree of Life adalah film non-linear dan eksperimental dengan visual yang tidak umum untuk melihat kehidupan dari sebuah keluarga di kota kecil pedalaman Amerika. The Tree of Life berfokus pada Jack, anak tertua dari keluarga tersebut. Jack, dihadirkan sejak kecil hingga dewasa. Melalui mata Jack, Malick membutuhkan selingan ke angkasa luar, lingkungan mikroskopis, dan bergerak ke masa dinosaurus, untuk mengeksplorasi ide-ide besar seperti penciptaan alam semesta dan agama. Selingan ini mengikat kisah film ini ke dalam busur dan dunia milik Jack yang perlahan-lahan menemukan dunia di sekitarnya, melalui ayah yang keras, cinta yang besar dari ibunya, kematian demi kematian yang kerap kali hadir diantara mereka dan pemberontakannya atas aturan-aturan yang menahan kebebasannya. The Tree of Life adalah sebuah perjalanan metafisik yang membuat penonton berpikir, merenung, dan mengenang masa lalu, dan menjadi sangat spesial karena tidak banyak film yang khusus melihat hal-hal tersebut selama ini.

Film dibuka dengan sebuah ayat dari Alkitab, yang kemudian mengadaptasi ayat tersebut menjadi garis cerita filmnya, tentang bagaimana setiap hal buruk yang bisa dibayangkan terjadi pada satu orang, namun ia masih mampu memuji Tuhan. The Tree of Life berhasil menampilkan hal tersebut dengak kisah Jack dan keluarganya dan tentu meninggalkan pertanyaan kepada penonton bagaimana hal buruk bisa kerap terjadi kepada manusia yang begitu taat padaNya. Malick memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu, karena dia juga tidak memiliki kapasitas untuk memberikan jawaban atas hal itu.

The Tree of Life menerima penghargaan Palm D’Or Cannes 2011 dan 3 nominasi Oscar untuk film terbaik, sutradara terbaik dan sinematografi terbaik.

2.   A Separation (Iran)
Director: Asghar Farhadi
Film baru Asghar Farhadi adalah sebuah melodrama yang menangkap tema tanggung jawab, kejujuran, cinta, religiusitas, dan pengorbanan. Film dimulai dengan argumen perceraian antara Simin (Leila Hatami) dan Nader (Peyman Moaadi) pada seorang hakim di pengadilan Iran. Melalui argumen mereka, alur cerita utama film menjadi jelas bahwa Nader dan Simin telah berencana untuk pindah ke Eropa untuk kehidupan yang lebih baik. Meskipun Nader tertarik dengan ide hidup di luar negeri, ia kemudian menolak karena ayahnya (Ali-Asghar Shahbazi) menderita Alzheimer dan butuh perawatan khusus. Mereka kemudian mempekerjakan Razieh (Sareh Bayat) untuk mengurus ayah Nader.

Bagian paling menarik dari film ini adalah naskahnya yang tidak mengambil pihak pada salah satu karakternya. Sebaliknya, semua orang tampaknya sama-sama benar dan salah pada waktu yang sama. Mereka semua terjebak dalam motif, ego, moralitas dan agama, uang dan kehormatan masing-masing. Bagaimana kemudian kita sebagai penonton digiring pada moral moral dari setiap karakter yang semakin menjelang film berakhir semakin terasa menipis. Entah pihak mana mestinya yang perlu kita dukung. Karena pada dasarnya penonton selalu melakukan tindakan pihak memihak, tetapi tidak untuk film ini. Dan inilah yang menjadi bagian menarik dan terbaik dari film yang berhasil meraih Oscar untuk film berbahasa asing terbaik dan nominasi untuk naskah asli terbaik.

A Separation  hadir ditengah gempuran film-film fiksi ilmiah dengan teknologi tinggi yang justru miskin cerita. Film ini adalah contoh baik yang dapat membantu kita sebagai penonton untuk merevisi ide-ide tentang konsep penting seperti tanggung jawab, cinta, kasih, dan pengorbanan.

3.   The Skin I Live In (Spain)
Director: Pedro Almodovar
Sama halnya dengan banyak film Almdovar sebelumnya, The Skin I Live In begitu sulit untuk dijelaskan dalam beberapa kalimat. Pertemuan hal-hal yang bertengangan dalam norma-norma sosial menjadi garis-garis yang semu yang perlahan kehilangan batas, dan tidak semua penonton bisa nyaman dengan hal tersebut. Film ini mengingatkan kita pada dua karya Almodovar sebelumnya yaitu  Talk to Her (2002) dan All About My Mother (1999). Talk to Her yang menerjemahkan kisah cinta wanita yang koma dengan pemerkosanya. Sedangkan dalam All About My Mother, bagaimana seorang biarawati yang menderita AIDS bertemu dengan wanita yang bersuamikan seorang waria. Tapi di tangan Almodovar adalah karya seni yang indah. Sama hal untuk The Skin I Live In.

Seorang ahli bedah plastik (Antonio Banderas) menyimpan seorang wanita cantik (Elena Anaya) sebagai kelinci percobaan untuk membuat jenis kulit terbaru. Karakter yang diperankan Elena Anaya tampak sebagai  metafora utama dari film ini, menjaga utuh ruang batinnya untuk terlepas dari apa yang terjadi pada tubuh. Seperti dalam kebanyakan film Almodovar yang  selalu memiliki lapisan dan kompleks, film ini berkembang menjelang akhirnya dengan twist yang cukup menjanjikan.

Almodovar menggunakan treatment horor sebagai jalur untuk mengeksplorasi setiap pelanggaran kode moral yang diwujudkan oleh karakter. Dengan musik skor megah oleh Alberto Iglesias, Almodovar mencoba untuk menghasilkan sebuah genre yang sulit dan terbayar dengan hasil yang mengagumkan. Dengan detail desain produksi, sinematografi dan penata artistik yang memanjakan mata tetapi justru film ini tidak dengan mudahdinikmati. Bagi penonton yang tidak memiliki masalah dengan film horor Amerika di mana remaja mengintai, diperkosa dan dipotong-potong sedikit demi gergaji tetapi tidak dengan The Skin I Live In bahkan akan terasa sangat mencekam dan menegangkan.

Fiksi adalah memang satu-satunya tempat dimana kita bisa dengan mudah menghadapi horor dan gore sebagai metafora untuk kelemahan manusia, tempat di mana kita tidak perlu bersembunyi dari setan kita tetapi kita bisa berbicara dengan mereka.

The Skin I Live In menerima penghargaan Best Film not in English Language dari BAFTA 2012 menyingkirkan saingan terkuatnya A Separation (Iran.2011).

4.   Tinker Taylor Soldier Spy (UK)
Director: Tomas Alfredson
Tomas Alfredson pernah sukses dengan Let the Right One In yang kemudian diremake Hollywood dengan judul Let Me In. Tinker Taylor Soldier Spy adalah debut karya internasionalnya yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya John Le Carre. Tinker Taylor Soldier Spy hadir sebagai sebuah film spionase ala James Bond dan Bourne. Tetapi berbeda dengan film-film tersebut yang mengandalkan aksi kebut-kebutan dahsyat, limpahan berbagai macam gadget terbaru dan spesial efek yang memanjakan mata,  film ini hadir sederhana, tetapi membangun ketegangannya dengan cerita  dan akting mumpuni dari semua pemainnya. Ketegangan yang dihadirkan film ini dari tumpukan dan lapisan plot yang menarik untuk ditunggu hingga film ini menuju akhirnya.

Tomas Alfredson mungkin bangga bisa menyandingkan aktor-aktor senior dan junior Inggris dalam satu film, dan ini sangat menguntungkan film itu sendiri karena penampilan mereka tidak mengecewakan, ditambah lagi dengan naskah hasil tulisan duet Bridget O’Connor dan Peter Straughan yang memberi nilai paling menarik dari film ini. Tidak salah kemudian naskah film ini menerima penghargaan naskah adaptasi terbaik dari Bafta 2012 dan mendapatkan nominasi oscar untuk kategori yang sama. 
Gary Oldman akhirnya menerima nominasi Oscar pertamanya untuk Pemeran Utama Pria terbaik. Tentu dia sangat berterima kasih sekali kepada Tomas Alfredson yang mengarahkannya dengan baik dalam Tinker Taylor Soldier Spy. Para penggemarnya tentu puas menjadi saksi sejarah Oldman akhirnya disejajarkan dengan aktor-aktor kaliber Oscar lain seperti George Clooney dan Brad Pitt yang jika lebih diamati lagi memiliki kemampuan akting diatas keduanya. Meskipun Oscar akhirnya diberikan kepada Jean Dujardin (The Artist), kita semua tetap puas, penantian Oldman untuk mendapatkan pengakuan dari penghargaan film paling bergensi di seluruh dunia akhirnya terwujud dan memang sudah sepantasnya dia diberikan apresiasi pada penghargaan sekelas Academy Awards.

5.   Tyrannosaur (UK)
Director: Paddy Considine
Tyrannosaur adalah debut penyutradaraan Paddy Considine untuk film panjang. Sebelumnya dia telah membuat beberapa film pendek dan salah satunya adalah semacam teaser untuk filmnya ini. Considine sebelumnya dikenal sebagai salah satu aktor watak Inggris yang hampir selalu main pada film-film independen dengan penampilan yang luar biasa. Sebut saja A Room for Romeo Brass, Last Resort, 24 Hour Party People, In America, Dead Man's Shoes, My Summer of Love dan Submarine.

Tyrannosaur berfokus pada dua karakter utama, Joseph (Peter Mullan) dan Hannah (Olivia Colman), yang bertemu dengan cara yang cukup mustahil, Joseph tiba-tiba saja berlari ke dalam toko amal milik Hannah dan bersembunyi di rak pakaian. Hubungan mereka kemudian berkembang karena terbuka kenyataan selanjutnya bahwa ternyata mereka saling membutuhkan.

Peter Mullan menawan sekaligus mengerikan sebagai Joseph. Dia tampak mengerikan pada opening dan closing film dengan memberikan "aksi ledakan" yang mengerikan pada dua anjing yang kurang beruntung. Namun yang paling beresonansi dengan sempurna adalah Olivia Colman sebagai Hannah. Aktris ini membuktikan bahwa dirinya bukan hanya sekedar komedian Inggris yang kerap kali berhasil membuat orang tertawa, tapi kali ini sebuah penampilan berbeda dari belasan serial televisi yang pernah dia bintangi. Sebuah penampilan yang berhasil membuat penonton bersimpati, bersedih dan menangis mengikuti penderitaan Hannah yang dibawakannya.

Tyrannosaur bukanlah film yang membuat penonton merasa hangat. Bahkan dengan adegan kedekatan pada akhir film antara Joseph Hannah yang saling menyentuh tangan dan bertukar senyum dengan lembut, seperti secara tidak langsung memberikan pengertian bahwa ini bukan sebuah film cinta picisan yang berakhir dengan semua orang akan senang, tetapi sebuah ikatan emosional yang lebih dalam dari sekedar itu dan biarkanlah Joseph dan Hanna menentukan sendiri bagaimana hidup mereka selanjutnya.

6.   We Need to Talk About Kevin (UK)
Director: Lynne Ramsey
We Need to Talk About Kevin menjadi salah satu film paling mengerikan tahun ini. Lynne Ramsey berhasil mendikte penonton untuk menatap layar bioskop dan memamerkan ketegangan yang menakutkan dari hubungan anti sosial dari ibu dan anak tanpa musik yang mengerikan, tanpa sosok yang menyeramkan dan tanpa bercak darah dimana-mana. Sebuah film yang menakutkan dengan fokus pada dua karakter dan hubungan mereka yang rusak dan saling menghancurkan.

We Need to Talk About Kevin dengan cemerlang mencekam dan menyisakan efek menakutkan yang mungkin sulit untuk dilepaskan setelah menonton film ini. Bahkan pada beberapa review membandingkan film ini dengan The Omen (1976) dan The Exorcist (1973). Secara umum film ini membawa momentum yang kuat dan mengganggu sampai kredit akhir. Jika menyukai Elephant (2003) maka film ini menjadi salah satu bagian spin off dari drama dokumenter karya Gus Van Sant tersebut..

Tilda Swinton memberikan kinerja yang benar-benar hebat dan meskipun thread utama dari cerita ini jelas hampir dari awal, bahwa ini adalah Swinton show, tetapi  semua pemain bermain hebat berhasil menjaga penampilan terbaik mereka hingga film ini berakhir.

Salah satu aspek paling menarik dari film ini adalah menunjukkan bahwa anak-anak bisa melakukan sesuatu yang diluar kendali pikiran dan daya mereka jika orang tua memberikan segala hal tanpa pengawasan dan perhatian yang baik.

7.   The Kid with a Bike (Belgium)
    Director: Jean Pierre & Luc Dardenne
The Kid with a Bike menerima nominasi film berbahasa asing terbaik Golden Globe 2012.
Jean Pierre Dardenne dan Luc Dardenne terkenal dengan Lorna’s Silence (2008), The Child (2005) dan The Son (2001). Jeremy Renner yang pernah tampil dalam The Child, kembali mengulang peran yang hampir serupa dalam The Kid with a Bike. Film ini tersirat seperti sekuel dari The Child dengan premis yang sama dan menggunakan sudut pandang sebaliknya. Cyril (dimainkan mengesankan oleh Thomas Doret, perhatikan adegan setelah Cyril bertemu ayahnya) yang berusia sekitar 12 tahun, ditinggalkan oleh ayah yang pecundang untuk dirawat pada sebuah panti asuhan. Dia terobsesi mencoba untuk kembali bersatu dengan ayahnya, dan dalam proses tersebut, Cyril bertemu dengan Samantha (Cecile de France) yang berhasil menemukan sepedanya dan membiarkan Cyril mengunjunginya setiap akhir pekan.

The Kid with a Bike terasa begitu dekat dengan penonton karena cara kerja kamera handheld. Gerak kamera seperti menempatkan penonton pada kehidupan Cyril dan tanpa terhalang jarak  bisa merasakan langsung bagaimana dia melalui hidupnya. Dan kedekatan yang begitu nyata ini membuat The Kid with a Bike terasa seperti sebuah dokumenter yang menyenangkan sekaligus menyedihkan.Karakter Cyril dari awal yang ditampilkan menyebalkan seperti sengaja dibiarkan untuk menghindari simpati yang berlebihan dari penonton, meskipun pada akhirnya penonton bersimpati tetapi bukan untuk mengasihani Cyril, sebuah treatment yang cukup menarik. Thomas yang berperan sebagai Cyril memberikan penampilan yang mengesankan untuk debut layar lebarnya.

8.   Archipelago (UK)
Director: Joanna Hogg
Archiepelago memuat analisa pertentangan isu liburan dengan kenyataan yang menyakitkan dan tidak menyenangkan dalam sebuah keluarga. Pada dasarnya liburan bertujuan untuk melepas diri dari rutinitas dan kepenatan akan berbagai masalah  yang justru kemudian menghantui keluarga yang disorot oleh Joanna Hogg dalam film ini. Kekosongan rasa dan ketidakpedulian antara setiap anggota keluarga menjadi titik awal liburan menjadi mimpi buruk buat mereka semua.

Archipelago berhasil menggambarkan karakteristik yang baru dan berbeda dari  kisah disfungsional keluarga. Dengan cemerlang film ini menyampaikan setiap kejanggalan interaksi antara karakter dengan sangat baik dan menyakinkan melalui sentuhan-sentuhan komedi pada dialog-dialog omong kosong antara mereka.

Ada semacam rasa unik dan sesak ketika menonton Archipelago, bahwa kekayaan dan berbagai macam kesempatan akan materi yang didapatkan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagian batin dan dalam film ini hal tersebut menjadi buih buih kepahitan hidup, pertentangan dan ketidakharmonisan dari jalan hidup setiap karakternya.

Film ini menerima 3 nominasi Evening Standard British Awards 2012 untuk film terbaik, aktor terbaik untuk Tom Hiddleston dan naskah terbaik. Tom Hiddleston yang terkenal sebagai Loki dalam debut internasionalnya dalam Thor bermain dalam film ini sebagai Edward.

9.   Bridesmaids (US)
Director: Paul Feig
Bridesmaids adalah drama komedi satire menyindir kesombogan, kekosongan jiwa dan kemunafikan akan cinta, hubungan sosial dan usaha untuk mendapatkan pengakuan dari orang-orang sekitar. Film ini menyentuh relung paling sensitif akan kehidupan karena begitu jujur memamaparkan bagaimana usaha-usaha manusia di dalamnya untuk mendapatkan cinta, pengakuan dan kebahagian. Kristen Wig yang menuliskan sendiri naskah untuk film ini juga tampil sebagai karakter utama dan memberikan sebuah penampilan terbaik sepanjang kariernya, begitu juga Melissa McCarthy dan Rose Byrne.

Bridesmaids tampil bak versi perempuan dari The Hangover. Film ini dengan jujur memaparkan bagaimana sebenarnya perempuan yang selalu tampil anggun dan cantik dalam film-film khas Hollywood juga memiliki kekurangan, cela dan ketidaksempuranaan yang selama ini selalu berusaha untuk ditutup-tutupi. Bridesmaids jujur sekali dengan membiarkan perempuan menjadi bahan olok-olok oleh perempuan lain, bagaimana mereka bisa berbicara tentang alat kelamin mereka sendiri, bagaimana ketidaksempurnaan ditonjolkan dengan sangat detail dan jelas.

Bridesmaids adalah sebuah “film besar” untuk humor perempuan, karena film-film komedi yang selama ini didominasi oleh aktor laki-laki dan karakter perempuan lebih menjadi pendamping. Selamat untuk Kristen Wiig, Annie Mumolo dan Paul Feig yang membuat perempuan terasa lebih manusiawi dalam film ini.

      Bullhead (Belgium)
Director: Michael R. Roskam
Bullhead menerima nominasi Film Berbahasa Asing terbaik bersanding dengan A Separation (Iran), In Darkness (Polandia), Footnote (Israel) dan Monsieur Lazhar (Canada).Terpilihnya Bullhead menjadi 5 dari yang terbaik tahun ini adalah sebuah kejutan karena sebelumnya tidak begitu diunggulkan.

Sebuah thriller mengesankan dan menegangkan tentang Jacky, seorang petani yang hidupnya berubah drastis setelah peristiwa dramatis dan traumatis di masa mudanya. Film ini dengan realistis menampilkan bagaimana distribusi,  mafia hormon dan dampak  secara langsung dan tidak langsung terhadap orang-orang terlibat dan yang berada di sekitarnya. Kenyataan yang begitu jujur ditampilkan dengan cemerlang dan sangat kontroversi karena masalah yang disuguhkan begitu sensitif.

Bullhead semakin memberi identitas terhadap film-film Eropa yang selalu tampil real dan apa adanya, berbeda dengan film-film Hollywood, apalagi kisah yang diangkat dalam film ini berdasarkan kejadian nyata yang memang pernah terjadi di Belgia.

      Drive (US)
Director: Nicolas Winding Refn
Sejak rilis perdana pada Cannes Film Festival 2011, Drive telah menjadi bahan pembicaraan banyak pihak, mulai dari kritikus, film blogger dan pengemar film action. Film ini menjadi "most wanted movie of 2011". Diadaptasi oleh Hossen Amini dari novel berjudul sama karya James Sallis, Drive dibuka dengan adegan pengenalan karakter utama dengan cukup informatif. Seorang Pria (Ryan Gosling) terlihat menyetir sebuah mobil di jalanan Los Angeles, dia menjemput dua orang pria yang terlihat terburu-buru. Mobil bergerak menghindari kejaran polisi dan berhasil kabur. Adegan ini cukup memberikan informasi profesi dari karakter yang diperankan Ryan Gosling yang sepanjang film tidak pernah disebut namanya. Gosling adalah supir untuk para kriminal untuk melancarkan aksinya. Selain sebagai pengemudi 'khusus' pada malam hari, pada adegan selanjutnya penonton mendapatkan informasi kedua bahwa sang supir adalah seorang stunt Hollywood pada siang hari, dan bekerja di sebuah bengkel milik Shannon (Bryan Carnston) serta bertetangga dengan Irene (Carey Mulligan) seorang wanita beranak satu, Benicio (debut aktor muda Kaden Leos) yang kemudian mengubah jalan hidupnya untuk selamanya.

Satu hal yang menjadi perhatian penulis adalah detail sinematografi, artistik, kostum dan soundtrack untuk film ini yang seperti memberikan penghormatan untuk film-film tahun 80-an. Font berwarna pink, jaket yang dipakai oleh Gosling, adegan-adegan action dengan suasana kota urban yang mengingatkan pada serial miami vice karya Michael Mann dan musik new wave elektronik dari Cliff Martinez yang semakin memberi rasa 80-an. Salah satu lagu soundtrack yang sangat berkesan memberi rasa untuk film ini adalah track A Real Hero dari College featuring Electric Youth. Lagu ini seperti sengaja dibuat untuk memberi kesan mendalam (Hero) pada karakter yang diperankan Ryan Gosling, mengiringi adegan Gosling dan Mulligan menghabiskan waktu bersama di pinggiran kota dan juga untuk akhir filmnya.

Drive memang bukan sebuah mahakarya namun tetap menjadi salah satu film yang diarahkan dengan baik tahun ini dan sangat pantas disandingkan dengan drama kriminal brutal terbaik yang pernah hadir sebelumnya seperti Goodfellas, Casino, Reservoirs Dog, Sexy Beast, City of God, American History X, Carlito's Way dan True Romance.Atas usahanya mengemas film ini dengan baik, Refn mestinya berhak menjadi salah satu sutradara yang diunggulkan sebagai yang terbaik tahun ini.

12.  The Future (US)
Director: Miranda July
Miranda July disejajarkan dengan Asghar Farhadi dan Bela Tar pada Berlin International Film Festival 2011 untuk  film ini pada kategori utama. The Future menawarkan kisah menarik dengan kualitas menawan, tentang Sophie and Jason yang secara radikal memutuskan untuk mengubah jalan hidup mereka yang justru kemudian menjadi ujian untuk hidup dan hubungan mereka sendiri.

Film ini mengawali kisah dengan drama percintaan biasa, tetapi dalam kenyataannya justru berkembang menjadi sebuah  black comedy fantasy. Miranda Juli memberikan sebuah karya film menarik  di mana penonton dapat memahami  bagaimana bakat dan dunia imajinasi yang bebas bisa begitu kuat mempengaruhi seseorang dalam menghasilkan sebuah karya film. Penyutradaraan yang kuat dari July membuat The Future sangat pantas disejajarkan dengan film-film terbaik yang pernah diarahkan oleh sutradara-sutradara wanita sebelumnya seperti The Hurt Locker (Katryn Bigelow), Lost in Translation (Sofia Coppola) dan The Piano (Jane Campion).

Honorable Mention:
Once Upon a Time in Anatolia, Post Mortem, The Turin Horse, Meek’s Cutoff, 50/50, Pina, No Rest for the Wicked, Sunny & Norwegian Wood,  

Rabu, 04 Januari 2012

12 Penampilan Paling Berkesan dalam Film Indonesia 2011

1. Abimana Aryasatya (Catatan Harian si Boy) sebagai Andi.
Robertino memutuskan menganti namanya menjadi Abimana Aryasatya tentu dengan harapan baru. Dan nama Abimana berhasil membawanya pada jajaran aktor terbaik Indonesia saat ini, terbukti dengan aktingnya sebagai Andi dalam Catatan Harian si Boy mendapat respon positif dari penonton film Indonesia. Penampilan Abi sebagai Andi memberi bukti bahwa dia berkomitmen tinggi untuk selalu berusaha memberikan akting terbaiknya. Abi membawakan karakter Andi dengan santai, cuek, apa adanya, menyenangkan dan banyak sekali adegan-adegan yang berhasil mencuri perhatian membuat penonton tertawa, haru dan simpati padanya. Tidak seperti karakter-karakter sidekick lainnya, Andi diberi ruang untuk berperan penting sepanjang film. Abi memberikan satu yang berkesan pada karirnya yang masih panjang dan besar harapan akan terus ada untuk film-film selanjutnya. 

2. Agus Kuncoro Adi (Tendangan Dari Langit & Tanda Tanya) sebagai Surya & Hasan.
Agus Kuncoro Adi lebih kenal sebagai bintang banyak serial televisi dan FTV selama bertahun-tahun dan selalu memperlihatkan penampilan yang baik dengan berbagai macam karakter yang pernah diperankannya. Tetapi posisinya selalu underrated. Beruntung Hanung melihat hal itu dan mengajaknya bermain dalam Sang Pencerah (2010). Tahun ini Hanung memberinya kepercayaan penuh, tidak tangung-tanggung untuk dua film sekaligus dan Agus tampil mengesankan. Dalam film Tanda Tanya, Agus berperan sebagai aktor yang memutuskan menerima peran sebagai Jesus meskipun dia muslim dan dalam Tendangan Dari Langit, sebagai seorang paman yang berambisi dan memanfaatkan keponakannya sendiri untuk kepentingan pribadi. Untuk kedua perannya ini, Agus dinominasikan sebagai aktor pendukung terbaik FFI 2011.

3. Albert Halim (Catatan Harian si Boy) sebagai Heri.
Heri adalah refleksi dari karakter Emon dalam Catatan si Boy dimasa sekarang. Dan adalah Albert Halim, aktor pendatang baru (melakukan debutnya dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita) membawakan Emon versi tahun 2000an dengan mengesankan. Heri yang mengemaskan bagi semua temannya, baik hati, lucu dan penolong, dan bahkan karakter ini berperan cukup penting dan tidak menjadi karakter stereotype yang selama ini dalam banyak tayangan hanya menjadi bahan olok-olok semata. Albert memberikan sosok "Emon" dengan cita rasa baru. Salut pada Albert Halim yang dengan usaha kerasnya memberi warna-warni dan mengisi daftar aktor terbaik perfilman Indonesia saat ini

4. Bella Esperance (The Perfect House) sebagai Madam Rita 
Bella memulai kariernya pada akhir tahun 80an, Catatan si Boy adalah film debutnya. Sejak awal karirnya, aktris berdarah campuran ini lebih dikenal dan cocok dengan peran-peran antagonis, dan Bella selalu berhasil membawakannya dengan baik. Begitu juga dengan perannya sebagai Madam Rita dalam The Perfect House. Sebagai nenek dari seorang bocah yang ternyata bermasalah, Bella tampil tegas, berwibawa dan pada beberapa kesempatan bahkan terlihat sangat menakutkan. Didukung dengan kostum vintage yang pas, penampilan Bella sebagai orang kaya pemilik perkebunan, tinggal terpencil serta menyimpan rahasia besar keluarganya menjadi semakin misterius, menakutkan, mengerikan sekaligus mengesankan!

5. Dewi Irawan (Sang Penari) sebagai Nyai Kertaredja.
Dewi Irawan adalah anak dari aktris senior Adek Irawan dan kakak dari Ria Irawan, tidak seperti ibu dan adiknya, nama Dewi memang tidak sepopuler mereka meskipun juga telah berkarier difilm sejak tahun 70an.  Dewi mengawali karier dalam Senyum dan Tangis tahun 1974, beberapa film terkenal yang dbintanginya adalah Puspa Indah Taman Hati (1979), Kembang Semusim (1980), Takdir Marina (1986) dan Badai Pasti Berlalu (2006). Sepanjang puluhan tahun kariernya, Dewi baru dua kali mendapatkan nominasi FFI, tahun 1983 untuk pemeran utama wanita dalam film karya Chaerul Umam, Titian Rambut Dibelah Tujuh dan tahun 2011 untuk perannya sebagai Nyai Kertareja dalam Sang Penari untuk kategori pemeran pendukung wanita terbaik dan kali ini piala Citra berhasil dibawanya pulang. Dewi mengambarkan Nyai Kertareja sebagai sosok wanita penolong sekaligus keji, memelihara dan memanfaatkan Srintil untuk memperkaya diri. Dewi memang pantas mendapatkan apresiasi melalui piala Citra yang telah diterimanya sekaligus penghargaan terhadap dedikasinya untuk film Indonesia selama puluhan tahun.

6. Donny Damara (Lovely Man) sebagai Ipuy.
Ipuy bukan karakter yang baru dalam jagad akting Donny Damara, peran serupa yang pernah dilakoni aktor senior ini dalam sebuah drama FTV, meski seperti pengulangan tetapi Donny menambah daftar filmografinya dengan penampilan yang gemilang. Tidak mudah memang memerankan seorang transgender dengan baik. Meskipun pada beberapa bagian terlihat agak berlebihan tetapi secara keseluruhan penampilan Donny dalam film ini berhasil membawa simpati dalam dari penonton. Film ini baru dirilis terbatas di Indonesia, tetapi tidak ada salahnya menempatkan Donny menjadi salah satu yang paling berkesan tahun ini.

7. Emir Mahira (Garuda di Dadaku II & Rumah Tanpa Jendela) sebagai Bayu & Aldo.
Emir Mahira mengawali kariernya tahun 2009 untuk Garuda di Dadaku sebagai Bayu dan mendapatkan penghargaan best performance pada The Isfahan International Film Festival of Children and Young Adults, yang diselenggarakan di Teheran Iran. Tahun 2011 melalui aktingnya dalam Rumah Tanpa Jendela, Emir membuat rekor sebagai aktor termuda yang pernah menerima piala Citra untuk pemeran utama pria terbaik. Perannya sebagai Aldo, anak yang harus mendapatkan perhatian khusus berhasil menyihir pada juri dan memberinya gelar terbaik. Ketika Emir merayakan kemenangannya itu, sekuel dari film debutnya, Garuda di Dadaku 2 dirilis dan Emir kembali mendapatkan pujian karena kembali memerankan Bayu dengan baik.

8. Raihaanun (Lovely Man) sebagai Cahaya.
Cahaya mengembalikan Raihaanun pada jajaran aktris terbaik Indonesia. Sosok Cahaya sebagai anak yang baru lulus sekolah dan ingin sekali bertemu dengan sosok ayah yang 14 tahun tidak ditemuinya, berhasil dibawakan dengan baik. Hanun yang saat ini berstatus sebagai istri dari Teddy Soeriatmadja (sutradara Lovely Man) meninggalkan sosok aslinya dan menyelam menjadi Cahaya yang tidak pernah ke Jakarta, lugu dan rindu kasih sayang ayahnya. Lovely Man memberinya ruang untuk Hanun memperlihatkan komoditi akting yang selama kariernya belum pernah muncul. Atas usahanya ini Hanun sangat pantas disejajarkan dengan aktor-aktris terbaik pada list ini.

9. Ray Sahetapy (The Raid) sebagai Tama.
Ray Sahetapy memberi penonton The Raid sebuah penampilan yang selama ini jarang hadir dalam perfilman kita. Akting mumpuninya berhasil membius penonton dan berdecak kagum sekaligus bergidik melihat setiap gerak gerik Tama, karakter yang dia perankan untuk film ini. Aktor senior ini benar-benar mengeluarkan semua energi dan kemapanan berakting untuk memerankan Tama. Karakter menyeramkan seperti halnya tokoh-tokoh mafia dalam film-film action sejenis dan dibawakannya dengan baik (sempurna). Tidak akan ada yang menyangkal kalau Ray Sahetapy dinobatkan menjadi salah satu aktor terbaik Indonesia saat ini, meskipun The Raid baru dirilis terbatas.

10. Titi Sjuman (Serdadu Kumbang) sebagai Siti.
Titi menjadi salah satu aset berharga film Indonesia saat ini dan penampilannya tidak pernah mengecewakan. Debut aktingnya dalam Mereka Bilang Saya Monyet (2008) memberinya piala Citra untuk pemeran utama wanita terbaik. Tahun 2010 dalam Minggu Pagi Victoria Park, dia kembali memperlihatkan kematangan akting dan kembali diapresiasi dengan nominasi piala Citra untuk kategori yang sama. Tahun 2011 dia main dalam 3 film (Khalifah, Rindu Purnama dan Serdadu Kumbang), untuk film terakhir Titi bermain sebagai Siti, seorang ibu yang memiliki anak laki-laki dengan cita-cita sebagai pembaca berita. Titi menjelma menjadi sosok perempuan asli suku Mandar (suku pedalaman Sumbawa) dengan mengesankan, menghilangkan sosok perempuan Ibukota yang melekat pada dirinya. Titi memperlihatkan bahwa dirinya adalah aktris berbakat meskipun baru merintis karier sebagai aktris beberapa tahun belakangan ini tetapi namanya sudah sangat pantas disandingkan dalam deretan pemain film terbaik Indonesia sepanjang masa.

Honorable mentions:
Prisia Nasution (Sang Penari)
Atiqah Hasiholan (The Mirror Never Lies)
Adinia Wirasti (Arisan2)
Putu Wijaya (Serdadu Kumbang)