Dir : Walter Salles
Cast : Rodrigo Santoro, Ravi Ramos Lacerda, Jose Dumont, Rita Assemany, Luis Carlos Vancocelos, Flavia Marco Antonio & Wagner Moura
Rodrigo Santoro mungkin menjadi satu-satunya aktor asal Brazil yang sukses merintis karier di Amerika dengan membintangi banyak film-film komersil Hollywood dan cukup sukses, sebut saja Charlie’s Angel, Love Actually, 300, serial Tv Lost, dan film terbarunya bersama Ewan McGregor dan Jim Carrey, I Love You Phillip Morris. Abril Despedacdo atau dalam rilis bahasa Inggris berjudul Behind the Sun, film produksi tahun 2001 dari sutradara Walter Salles ini adalah yang membuka peluang untuk aktor yang juga membintangi sebuah produk iklan parfum bersama Nicole Kidman. Behind the Sun mendapatkan perhatian publik dunia (Amerika) saat dinominasikan oleh perkumpulan jurnalis internasional Hollywood (HFPA) sebagai salah satu film berbahasa asing terbaik dalam Golden Globe tahun 2002.
Film ini diadaptasi bebas dari novel karya penulis asal Albania, Ismael Kadare yang berjudul April Broken, dengan mengambil setting Brazil utara tahun 1910. Bercerita tentang permusuhan yang telah terjadi bertahun-tahun diantara dua keluarga, di atas sebuah ladang tebu yang selalu tersiram panas matahari dan gersang. Permusuhan dilambangkan atas keterjebakan mereka pada kebencian yang telah terbentuk serta mendarah daging sekian lama dari sepuh keluarga dan membiarkan pembunuhan demi pembunuhan terjadi atas nama kehormatan keluarga.
Saat kakak laki-lakinya Inacio terbunuh, Tonho (Rodrigo Santoro) harus memenuhi perintah ayahnya (Jose Dumont) untuk membangun keberaniannya membalaskan dendam keluarga demi nama baik keluarganya. Setelah melewati masa berkabung yang telah ditentukan, anggota keluarga masing-masing yang bermusuhan akan berusaha untuk membunuh salah satu dari anggota keluarga musuhnya, jika kemudian gagal, maka akan menunggu masa berkabung selanjutnya untuk bisa kembali membunuh. Tonho dan adiknya Pacu (Ravi Ramos Lacerda) setiap kali harus berhadapan dengan maut dan tanpa keberanian untuk mengungkapkan keberatan pada ayah mereka, karena mereka akan dianggap menghina kehormatan keluarga.
Kehidupan miskin yang mereka hadapi sebagai petani tebu tidak bisa mempengaruhi ‘kehormatan’ yang terlalu berlebihan diagung-agungkan oleh sang Ayah. Tonho dan Pacu seperti ingin pergi jauh dari ayahnya, mereka bosan dengan aktivitas setiap hari hanya memutar alat pengompres tebu yang ditarik dengan sapi, tidak ada apa-apa disekitar mereka selain hanya kehidupan berat dan dendam yang semakin membuat hidup tidak berjalan kemana-mana. Pertemuan dengan seorang gadis yang menjual atraksi sirkus bernama Clara (Flavia Marco Antonio) cukup memberikan hiburan pada hidup mereka yang terjebak kemiskinan dan terus menerus dikejar ketakutan
Sebuah pemikiran keliru tentang kehormatan menjadi inti film ini. Seperti tidak ada peluang untuk mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah yang terjadi atau memang karena luka yang terlalu lama dan bertumpuk membuat hal itu menjadi sesuatu yang legal dilakukan.
Sebuah adegan hujan besar yang sangat jarang sekali terjadi di sana menjadi sebuah metafora pada dendam demi dendam yang terjadi. Apakah hujan akan memberikan sebuah ‘penyegaran’ bagi mereka untuk bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik. Tonho berjuang dengan dilema tersebut, bagaimana dia bisa tetap menghargai keluarganya tanpa membunuh. Bagaimana dia bisa tidak terbunuh atau pergi dari keluarganya tanpa meninggalkan aib atas kehormatan keluarganya.
Inilah film yang jelas-jelas mempertanyakan bagaimana nurani manusia berkembang menghadapi segala masalahnya, membiarkan sesuatu yang dipercaya menguasainya, atau dengan egois membiarkan semua terjadi hanya demi sebuah kehormatan yang sebenarnya juga diragukan. Atau justru berusaha menunjukkan bahwa nurani, hati, dan pikiran bisa dikendalikan pada hal-hal sebenarnya baik untuk dilakukan, dan hal yang terakhir inilah yang dipilih oleh Tonho untuk diperjuangkan.
Sebuah keindahan “sureal” dihadirkan oleh Walter Salles dengan begitu gersang, panas, perih, pahit dan berkarat adalah bentuk rasa jika kita ingin memberi arti pada Behind the Sun secara keseluruhan. Salles membaurkan warna-warna indah Brazil yang panas dan gersang dengan kegelapan dendam yang berkarat dalam hidup mereka tanpa ada peluang untuk bisa menemukan “air” dalam arti sebuah penyelesaian yang baik supaya hidup bisa lebih benar-benar indah untuk dinikmati.
Dengan cinematografi yang begitu sempurna membiarkan penonton tersiksa dengan keindahan sekaligus kegersangan Brazil. Cerita adaptasi yang menarik, menegangkan dan rapi, akting dari para pemeran yang sempurna (terutama Jose Dumont yang berperan sebagai ayah Tonho) dan tentu saja penyutradaraan yang baik oleh Salles menjadikan film ini dinobatkan oleh banyak kritikus film internasional sebagai salah satu film terbaik Brazil yang pernah dibuat (bersanding dengan Pixote, The Given Word, The Oyster and the Wind, Who Killed Pixote, City of God, Central Station dan 4 Days in September).
Behind the Sun dinominasikan film berbahasa asing terbaik BAFTA dan Golden Globe 2002, meraih Little Golden Lion Venice Film Festival 2002, Silver Daisy Awards Brazil 2002, penghargaan sebagai sutradara terbaik untuk Salles dari Havana Film Festival 2002 dan aktor terbaik untuk Rodrigo Santoro dari Premio Qualidade Brazil 2002.
Berhasil memikat publik dunia dengan Central Station dengan 2 nominasi Oscar tahun 1999, Walter Salles kembali membuktikan kepiawaiannya dalam menggarap film. Meski kali ini tidak menembus perhelatan tertinggi Hollywood tersebut, tetapi cukup memperlihatkan Salles mampu mempertahankan kualitasnya. Dan dari beberapa kritikus film, Behind the Sun dianggap lebih sempurna dari Central Station, Oscar tidak selalu menjadi jaminan terbaik atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar