Kamis, 10 Maret 2011

Biola tak Berdawai (Indonesia.2004)


Dir : Sekar Ayu Asmara
Cast : Ria Irawan, Nicholas Saputra, Jajang C Noer dan Dicky Lebrianto

Ketika dulu film ini rilis bioskop tanah air tahun 2004, entah kenapa tidak begitu berminat untuk menonton, sedikit menyesal karena kemudian agak susah juga untuk menemukan film ini dalam format video, beruntung kemudian Kineforum dalam rangka perayaan hari Film Nasional memutar film secara gratis. Sebagaimana kita ketahui film ini adalah karya Sekar Ayu Asmara sebelum menghasilkan Belahan Jiwa (2005) dan Pesan Dari Surga (2007). Jika pada Belahan Jiwa, sutradara ini mengambil misteri dunia pikiran manusia dan pada Pesan dari Surga mengambil misteri dunia setelah kematian, untuk film yang kirim resmi untuk berlaga pada ajang oscar 2005 ini bermain-main pada misteri hati manusia.

Renjani (31th) seorang wanita berkarakter lembut dan penyayang yang mendedikasikan hidupnya untuk mengasuh bayi-bayi dan anak-anak yang lahir dalam keadaan cacat dan tidak diinginkan oleh orang tua mereka, salah satu anak asuh yang memiliki hubungan cukup dekat dengannya adalah Dewa (Dicky Lebrianto). Pada usianya yang telah mencapai 8 thn Dewa, pertumbuhan fisik tidak seperti anak normal seusianya, karena fungsi jaringan otaknya yang tidak sempurna dan juga menderita tuna runggu dan tuna wicara. Renjani dibantu oleh Mba Wid (Jajang C Noer), seorang dokter anak yang juga berprofesi sebagai seorang peramal dengan media kartu tarot. Berdua mereka menjalankan fungsi rumah milik Renjadi menjadi rumah asuh untuk anak-anak yang kurang beruntung tersebut, bahkan mereka sudah terbiasa menghadapi kematian demi kematian yang selalu mengejar hidup anak-anak cacat yang mereka asuh.

Suatu hari tanpa sengaja Dewa menemukan sebuah kotak yang berisi sepasang sepatu balet milik Renjani hal ini kemudian perlahan membuka tabir masa lalunya. Dihadapan Dewa, Renjani kemudian mempertontonkan sisa sisa kemampuannya untuk menari. Dewa mengangkat wajahnya melihat Renjani menari, tentu ini adalah kemajuan yang pesat untuk Dewa karena selama ini Dewa selalu menunduk. Kejadian luar biasa menurutnya ini kemudian memberi semangat untuk membantu proses penyembuhan Dewa dengan terapi Musik. Renjani membawa Dewa pada sebuah resital Biola yang kemudian mempertemukannya dengan Bhisma (Nicholas Saputra) seorang pemain biola. Hubungan mereka berlanjut karena Dewa seperti menyukai kehadian Bhisma diantara dia dan Renjani. Mba Wid yang pernah meramalkan bahwa Renjani akan bertemu seorang yang mencintainya meminta Renjani untuk membina hubungan serius dengan Bhisma, karena menurutnya Bhisma adalah pribadi yang menarik. Dengan alasan perbedaan usiayang cukup jauh karena Bhisma lebih muda darinya, Renjani berusaha untuk membatasi hubungan hanya sebatas teman biasa.

Hubungan mereka semakin dekat, Bhisma menunjukkan keseriusannya, dia bahkan membuat sebuah karya musik untuk membantu proses kesembuhan Dewa. Dia memainkan biola, Renjani menari, dan benar saja, Dewa kembali mengangkat kepalanya menikmati suguhan itu, tetapi semua berakhir penolakan Renjani pada usaha Bhisma untuk memeluknya merayakan keberhasilannya mereka tersebut dan bahkan Renjani mengusir Bhisma.

Ternyata penolakan-penolakan Renjani terhadap bukan hanya semata masalah perbedaan usia yang jauh diantara mereka, sebuah trauma dari masa lalunya yang masih menghantuinya dan tidak dengan mudah untuk dilupakan begitu saja, apalagi kemudian semua itu tidak hanya meninggalan beban mental padanya tetapi juga beban fisik yang begitu menyiksa hari-harinya.

Fase kesedihan dan kesunyian yang diadaptasi menjadikan film ini terasa terlalu lambat dan berat untuk dinikmati, ada beberapa bagian film bahkan sangat membosankan, perpindahan scene ke scene, frame ke frame terlalu lama, sehingga dibeberapa adegan berakhir dengan antiklimaks, dan membuat penonton tidak sabar untuk menanti film berakhir dengan begitu saja melupakan film ini. Hal ini sangat disayangkan karena film ini memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi film bagus dengan ide cerita yang cukup menarik.

Ria Irawan bermain baik sebagai Renjani, dia berhasil membuktikan dirinya sebagai salah satu aktris watak Indonesia yang mampu memainkan karakter apa saja, Renjani yang tegar dan kuat tetapi rapuh di dalam dipersembahkannya dengan sangat baik, tidak salah kemudian dia berhasil menjadi aktris terbaik dari Festival Film Asia 2005. Nicholas Saputra sebagai Bhisma yang ‘dipaksa’ bermain sebagai karakter yang jauh lebih tua dari umur sebenarnya dengan rambut gondrong dan kumis tipis (cukup mengganggu melihatnya) tampak sangat berusaha keras untuk memasuki Bhisma, meski tidak sebaik perannya dalam Gie atau Janji Joni, dia layak diberi kredit lebih.

Yang terasa sedikit mengganggu adalah karakter Mba Wid yang semakin kebelakang menjadi semakin terasa konyol dengan selalu mempertanyakan banyak hal menjadi sebuah teka teki aneh, dan dengan dialog-dialog yang terlalu lambat, lama dan pada beberapa bagian terasa terlalu teatrikal. 

Entah bagaimana casting director film ini berhasil menemukan Dicky Lebrianto yang berperan sebagai Dewa, meski hampir sepanjang film, tidak ada dialog yang diucapkannya Dicky dengan sukses memberikan penonton seorang Dewa yang cukup misterius.

Suasana Jogja yang hening berhasil disuguhkan dengan baik, gambar-gambar yang cukup menarik ditampil dengan warna-warna yang natural dan baik, terbantu dengan set dan art film yang mengambil banyak ornamen tradisional jawa, yang sangat menganggu adalah selalu banyak lilin bertebaran dimana-mana yang bahkan terasa sangat berlebihan dan menganggu tingkat keseriusan film ini, atau mungkin untuk menguatkan karakter mba Wid yang seorang peramal, tetapi masih tetap saja sangat berlebihan dan mengganggu.

Terlepas dari itu film sederhana ini cukup berhasil memaparkan sebuah dilema berat dari trauma masa lalu yang begitu kuat menghantui hidup seseorang, dan alur yang lambat dan pelan seperti sebuah kesengajaan untuk menambah rasa sedih, pilu, hampa, dan sakit dari karakter utama film ini.

12 komentar:

  1. Film bagus sebenernya sih...walau sampai sekarang yang masih jadi pertanyaan adalah adegan dimana Renjani menari ballet dalam usahanya membuat Dewa bereaksi terhadap musik atau ballet hanya ditemani Bhisma dan biolanya. Secara medis sih sebenarnya harus ada Mbak Wid juga sebagai dokter anak....tapi, kok dia gak ada ya untuk memantau reaksi Dewa padasaat itu? Atau adegan itu sengaja dikondisikan hanya untuk "mendekatkan" Renjani dan Bhisma? (pengamatanorangawam.com)

    BalasHapus
  2. setuju dengan pendapat lo tentang kehadiran Mba Wid.. mestinya mereka memang melibatkan dokter, secara Renjani sudah bilang hal itu pada Mba Wid di Scene sblmnya... Tapi di sini terlihat keegoisan Renjani dan Bhisma, saat akhirnya usaha mereka utk membuat Dewa merespon, justru mereka sibuk berdua dan berakhir dengan pertentangan.. sedikit tidak masuk akal memang...

    BalasHapus
  3. Mengenai "lilin yang agak mengganggu itu" menurut gw seeeh....lilin-lilin itu mewakili jumlah anak-anak penghuni panti, soalnya tiap kali ada yang meninggal, maka Mbak wid akan meniup satu lilin, bukankah begitu...? agak nyentrik juga sih dia, membuat gw bertanya kok bisa lulus fakultas kedokteran ya...(abisnyaaa dia terkesan agak "jorok")

    BalasHapus
  4. emang ada adegan mba wid niup lilis pas ada yang meninggal, tetapi menganggu dengan keseriusan filmnya deh.. apa penting nyalain lilin byk2, simbol sih simbol, tp udah "terlalu" film.. bertolak belakang dengan masalah serius yang menjadi basic cerita keseluruhan...

    BalasHapus
  5. Iya sih, emang gak penting....si Mbak Wid ini kan emang sering ngerjain hal2 gak penting ketimbang konsultasi dengan rekan2 sejawatnya ato dengan dosen2nya ato bawa anak2 ke rumah sakit pada saat darurat....dsb....dsb....emang sih cuma film...:D

    BalasHapus
  6. hahahahaaa.... ini film paling mending deh dari sekar Ayu Asmara

    Udah nonton Belahan Jiwa dan Pesan Dari Surga?
    dua film itu idenya keren bgt kalo kata gue.. tapi penyutradaraan, script, eksekusi dan aktingnya failed bgt.. menyedihkan.. :(

    BalasHapus
  7. Blom nonton, bro....tapi dulu tertarik untuk nonton karena produsernya sama dengan Ca Bau Kan (Afi Shamara....klo gak salah)...review-in yang itu juga donk....hehehe...kayaknya eike musti banyak nonton film2 lagi neh secara susah banget nyari film bermutu hari gini....(terlalu banyak paku2, banyak yang ngesot2, banyak perawan2 gila)

    BalasHapus
  8. Sip. gue tonton ulang dulu yahh filmnya...
    btw emang stay dimana? kok susah nyari film?

    BalasHapus
  9. Stay di padang, bro...secara di sini toko2 yang menjual DVD ataupun VCD sudah mulai berkurang gara2 banyak bajakan yang beredar. Kalo nonton bajakan..? Yaa...yang kualitas gambarnya seolah syuting pada malam hari semua lah, ato yang miring2 lah, ato tau2 ada kepala nongol lah, ato teksnya yang aneh2 lah...hehehehe....klo film berbahasa inggris ato jepang Insya Allah masih bisa ngerti, tp klo berbahasa korea, itali, latino, iran...yaa...masa diriku kudu belajar bahasanya dulu baru nonton pilemnya...hehehe....(gwajayangmalesnyarifilmnya.com)

    BalasHapus
  10. kalo film indo bajakannya mang parah bgt....
    tapi kalo film luar bajakannya dah kaya orginal, bahkan belum rilis bioskop dah bagus2.. apalagi sekarang nggak ada film2 masuk bioskop gini, penguasaha bajakan pasti makin giat nyari copy film2 yg bagus2 deh...

    BalasHapus
  11. Tenang....gw punya sumber terpecaya penghasil DVD yg lumayan, bro, keep reviewing...biar gw punya referensi film2 wajib tonton...:D

    BalasHapus