Senin, 28 Maret 2011

Poetry (South Korea.2010)


Dir : Lee Chang Dong
Cast : Yoon Jeong Hee, Kim Hee Ra, Ahn Nae Sang, Lee David, Kim Yong Taek

Bagaimana seorang Lee Chang Dong, salah satu sutradara kenamaan Korea, memberikan gambaran tentang seorang wanita tua kesepian berusaha mengisi hidup untuk memberi arti pada sisa-sisa hidupnya?. Mengambil kelas untuk belajar menulis puisi, sungguh unik memang. Atau apakah memang begitu kehidupan para lansia di Korea?. Terlepas dari itu, seorang lansia belajar menulis puisi adalah sebuah ide cerita yang sangat menarik, bahkan justru berbeda dan belum pernah ada. Lee Chang Dong memberikan premis menarik ini menjadi salah satu film terbaik sepanjang 2010, paling tidak untuk juri Festival Film Cannes 2010, karena menganugrahkan skenario film ini menjadi yang terbaik.

Bagaimana seorang manusia menghadapi beratnya hidup dalam kesendirian dan kesepian selalu menarik bagi Dong untuk dieksplorasi. Jika dalam Secret Sunshine, kesepian dibalut dengan pertentangan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan “kebaikanNya”, makan dalam film terbarunya ini, Dong mencoba membawa kita pada kisah kesendirian yang lebih dalam lagi. Dong mencoba melihat para lansia memberi arti pada hidupnya. Selain tema yang hampir mirip, Secret Sunshie dan Poetry juga memiliki kemiripan pada beberapa detail film, seperti karakter utama yang sama-sama perempuan, latar belakang kejadian pada sebuah kota kecil, dan nyaris tidak ada musik yang mengisi film ini. Detail ini memperlihatkan Dong adalah sutradara cukup berhasil membentuk dan mempertahankan identitas pada film-filmnya. 

Yang (Yoon Jeong Hee) seorang perempuan berusia lanjut hidup berdua dengan cucunya (Lee David), berbekal kenangan masa lalu, Yang menghabiskan masa tuanya dengan belajar menulis puisi pada sebuah pusat kebudayaan, selain itu Yang juga melakukan pekerjaan mengurus keseharian seorang laki-laki tua (Kim Hee Ra) yang menderita stroke.

Saat baru saja selesai memeriksa kesehatannya di sebuah rumah sakit, Yang dikagetkan dengan kejadian tragis mengenai seorang perempuan muda yang bunuh diri. Kisah tragis ini kemudian mempengaruhi jalan hidup Yang dan cucunya, karena tidak berselang lama dari kejadian tersebut, Yang harus menerima kenyataan bahwa cucunya memiliki hubungan dengan kisah tragis gadis muda tersebut. Berawal dari pertemuannya dengan salah satu orang tua teman cucunya, jalan hidup Yang tidak lagi sama, karena tahap berikutnya Yang harus berpikir dan berusaha untuk menyelamatkan masa depan cucunya. Dilema berat bagi Yang, karena hubungan dengan sang cucu juga tidaklah dekat, sementara itu menghasilkan tulisan puisi adalah target utama lain dalam hidupnya. Kedua plot ini menjadi jalinan kisah hidup Yang selanjutnya.

Film ini membawa kita masuk ke dalam dunia pikiran-pikiran Yang yang kesepian, sendiri dan nelangsa. Yang mencoba untuk membangun hubungan lebih baik dengan cucunya yang pada beberapa adegan terlihat bersikap kurang berterima kasih pada neneknya. Yang mengunjungi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan puisi, namun sayangnya kegiatan ini ditampilkan agak berlebihan oleh Dong, sehingga bagian cerita lain yang sebenarnya cukup menarik untuk dikembangkan jadi terasa datar. Misalnya adegan Yang berkumpul dengan para orang tua teman dari cucunya untuk bersama memecahkan masalah bagaimana menutupi keterlibatan anak-anak mereka dari kematian gadis muda tersebut. Tentu isu kriminal berat ini bisa menjadi sub-plot kuat yang menopang keseluruhan jalan cerita film ini.

Tetapi Dong tampaknya memang hanya ingin menyoroti kehidupan Yang tidak secara keseluruhan karena focus utama Dong adalah membantu Yang untuk bisa menemukan inspirasi besarnya dalam menulis sebuah puisi. Dan Yang memang berhasil didorong menemukan ide itu dari tragedi yang melibatkan cucunya tersebut. Sebuah puisi menyentuh bermakna indah tentang kesendirian, kesepian mendalam dan tragedi yang memilukan karya Yang menjadi ending film ini.

Sukses meraih penghargaan di Cannes, disusul kemudian penghargaan dari dalam negeri sendiri. Poetry meraih penghargaan film, sutradara, skenario dan aktris terbaik dari Korean Film Awards, Critics Choice Awards, Blue Dragon Film Awards dan Grand Bell Film Awards.



Another Year (UK.2010)

Director : Mike Leigh
Cast : Jim Broadbent, Ruth Sheen, Lesley Manville, Imelda Staunton, David Bradley, Phil Davis, Oliver Maltman and Peter Wight

Mike Leigh menjadi salah satu sutradara asal Inggris Raya yang selalu memberikan penontonnya film-film berlatar belakang budaya dah kehidupan masyarakat negeri Ratu Elizabeth tersebut dengan sudut pandang yang selalu tidak umum. Misalnya dalam Secret and Lies (1996) tema perbedaan ras yang cukup provocatif, Vera Drake (2004) kisah wanita yang melakukan praktek aborsi tahun 1960-an tanpa beban rasa bersalah karena tulus hanya ingin menolong. Jangan lupa juga dengan Happy Go Lucky (2008) bagaimana seorang Poppy selalu berusaha membuat bahagia orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan film terbarunya ini, Another Year.

Another Year adalah sebuah kisah keseharian sebuah keluarga kelas menengah di London. Empat musim yang terjadi di negara tersebut menjadi pengantar kisah demi kisah yang mereka lalui. Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti pada keluarga ini, baik dari anggota keluarga tersebut atau dari orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan mereka. 

Tom (Jim Broadbent) dan Gerri (Ruth Sheen) adalah pasangan suami istri berusia lanjut yang masih tampak harmonis, memasuki 30tahun usia perkawinannya. Tom bekerja sebagai seorang Geologist dan Gerri adalah seorang Psychotherapist. Joe (Oliver Maltman) adalah anak lelaki satu-satunya yang berkerja di salah satu lembaga hukum. Keseharian meraka selain bekerja adalah berkebun dan berkumpul bersama teman-teman dekat mereka.

Salah satu teman deket mereka adalah Mary (Lesley Manville). Mary bekerja satu instansi dengan Gerri. Hubungan persahabatan ini telah terjalin sejak 20 tahun lamanya, bahkan Mary begitu kenal dengan Joe, yang sudah dianggapnya seperti keponakan sendiri, dan bahkan pada beberapa adegan terlihat Mary seperti sedang mencari perhatian Joe. Mary menjadi salah satu isu utama dalam kehidupan Tom dan Gerri selama ini. Kegagalan pada pernikahannya berujung pada kesendirian bertahun-tahun yang dilalui membangun pribadinya menjadi sosok yang lemah, menyedihkan dengan kerap kali berusaha menjadi pusat perhatian semua orang di sekitarnya.  

Musim demi musim menjadi pembatas kisah demi kisah dalam film ini. Setiap musim berganti semua anggota keluarga dan para teman dekat berkumpul untuk saling membicarakan kehidupan dan rencana hidup selanjutnya. Kebahagian dan kesedihan yang hadir diantara mereka menjadi penguat ikatan kekelurgaan dan persabatan diantara mereka. Inilah sebuah film tentang bagaimana manusia hidup saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.

Naskah film ini mengambarkan pada penonton bahwa hidup akan terus berjalan, tanpa kita bisa tahu akan dibawa kemana. Kesedihan atau kebahagiaan yang akan kita temui pada ritme-ritme hidup kita tentu tergantung bagaimana tujuan hidup kita bangun sebelumnya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk berusaha menjadi lebih baik jika kemudian kegagalan kita temui dalam menjalani hidup ini. Pribadi yang berjiwa besarlah yang mampu untuk kembali bangkit menatap hidup yang terus berjalan.

Tidak salah kemudian Academy Award 2011 lalu memberikan film ini nominasi untuk naskah asli terbaik, namun harus mengakui keunggulan The King’s Speech. Sebuah catatan unik adalah Mike Leigh tidak pernah membuat naskah untuk filmnya, biasanya beliau mengumpulkan para aktor yang akan membintangi filmnya, latihan dan berdiskusi bersama bagaimana karakter-karakter dalam film tersebut membangun karakternya masing-masing, sehingga karakter-karakter tersebut menjadi kuat. Tetapi uniknya film-film leigh selalu mendapatkan nominasi Oscar untuk naskah asli terbaik. Tercatat telah 4 kali naskah film Leigh dinominasikan oscar, Another Year (2010), Happy Go Lucly (2008), Vera Drake (2004) dan Secret and Lies (1996).   

Selain naskah yang bagus, akting yang dibawa para pemain begitu natural, terutama Lesley Manville yang berperan sebagai Mary. Manville membawakan Mary sebagai sosok yang terlihat kuat di luar tetapi begitu rapuh di dalam. Salah satu akting terbaik tahun ini. BAFTA 2011 memberinya nominasi untuk aktris pendukung terbaik. 




Senin, 21 Maret 2011

Behind the Sun (Brasil.2002)

Dir : Walter Salles
Cast : Rodrigo Santoro, Ravi Ramos Lacerda, Jose Dumont, Rita Assemany, Luis Carlos Vancocelos, Flavia Marco Antonio & Wagner Moura

Rodrigo Santoro mungkin menjadi satu-satunya aktor asal Brazil yang sukses merintis karier di Amerika dengan membintangi banyak film-film komersil Hollywood dan cukup sukses, sebut saja Charlie’s Angel, Love Actually, 300, serial Tv Lost, dan film terbarunya bersama Ewan McGregor dan Jim Carrey, I Love You Phillip Morris. Abril Despedacdo atau dalam rilis bahasa Inggris berjudul Behind the Sun, film produksi tahun 2001 dari sutradara Walter Salles ini adalah yang membuka peluang untuk aktor yang juga membintangi sebuah produk iklan parfum bersama Nicole Kidman. Behind the Sun mendapatkan perhatian publik dunia (Amerika) saat dinominasikan oleh perkumpulan jurnalis internasional Hollywood (HFPA) sebagai salah satu film berbahasa asing terbaik dalam Golden Globe tahun 2002.

Film ini diadaptasi bebas dari novel karya penulis asal Albania, Ismael Kadare yang berjudul April Broken, dengan mengambil setting Brazil utara tahun 1910. Bercerita tentang permusuhan yang telah terjadi bertahun-tahun diantara dua keluarga, di atas sebuah ladang tebu yang selalu tersiram panas matahari dan gersang. Permusuhan dilambangkan atas keterjebakan mereka pada kebencian yang telah terbentuk serta mendarah daging sekian lama dari sepuh keluarga dan membiarkan pembunuhan demi pembunuhan terjadi atas nama kehormatan keluarga.

Saat kakak laki-lakinya Inacio terbunuh, Tonho (Rodrigo Santoro) harus memenuhi perintah ayahnya (Jose Dumont) untuk membangun keberaniannya membalaskan dendam keluarga demi nama baik keluarganya. Setelah melewati masa berkabung yang telah ditentukan, anggota keluarga masing-masing yang bermusuhan akan berusaha untuk membunuh salah satu dari anggota keluarga musuhnya, jika kemudian gagal, maka akan menunggu masa berkabung selanjutnya untuk bisa kembali membunuh. Tonho dan adiknya Pacu (Ravi Ramos Lacerda) setiap kali harus berhadapan dengan maut dan tanpa keberanian untuk mengungkapkan keberatan pada ayah mereka, karena mereka akan dianggap menghina kehormatan keluarga.

Kehidupan miskin yang mereka hadapi sebagai petani tebu tidak bisa mempengaruhi ‘kehormatan’ yang terlalu berlebihan diagung-agungkan oleh sang Ayah. Tonho dan Pacu seperti ingin pergi jauh dari ayahnya, mereka bosan dengan aktivitas setiap hari hanya memutar alat pengompres tebu yang ditarik dengan sapi, tidak ada apa-apa disekitar mereka selain hanya kehidupan berat dan dendam yang semakin membuat hidup tidak berjalan kemana-mana. Pertemuan dengan seorang gadis yang menjual atraksi sirkus bernama Clara (Flavia Marco Antonio) cukup memberikan hiburan pada hidup mereka yang terjebak kemiskinan dan terus menerus dikejar ketakutan 


Sebuah pemikiran keliru tentang kehormatan menjadi inti film ini. Seperti tidak ada peluang untuk mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah yang terjadi atau memang karena luka yang terlalu lama dan bertumpuk membuat hal itu menjadi sesuatu yang legal dilakukan. 

Sebuah adegan hujan besar yang sangat jarang sekali terjadi di sana menjadi sebuah metafora pada dendam demi dendam yang terjadi. Apakah hujan akan memberikan sebuah ‘penyegaran’ bagi mereka untuk bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik. Tonho berjuang dengan dilema tersebut, bagaimana dia bisa tetap menghargai keluarganya tanpa membunuh. Bagaimana dia bisa tidak terbunuh atau pergi dari keluarganya tanpa meninggalkan aib atas kehormatan keluarganya.

Inilah film yang jelas-jelas mempertanyakan bagaimana nurani manusia berkembang menghadapi segala masalahnya, membiarkan sesuatu yang dipercaya menguasainya, atau dengan egois membiarkan semua terjadi hanya demi sebuah kehormatan yang sebenarnya juga diragukan. Atau justru berusaha menunjukkan bahwa nurani, hati, dan pikiran bisa dikendalikan pada hal-hal sebenarnya baik untuk dilakukan, dan hal yang terakhir inilah yang dipilih oleh Tonho untuk diperjuangkan. 

Sebuah keindahan “sureal” dihadirkan oleh Walter Salles dengan begitu gersang, panas, perih, pahit dan berkarat adalah bentuk rasa jika kita ingin memberi arti pada Behind the Sun secara keseluruhan. Salles membaurkan warna-warna indah Brazil yang panas dan gersang dengan kegelapan dendam yang berkarat dalam hidup mereka tanpa ada peluang untuk bisa menemukan “air” dalam arti sebuah penyelesaian yang baik supaya hidup bisa lebih benar-benar indah untuk dinikmati. 

Dengan cinematografi yang begitu sempurna membiarkan penonton tersiksa dengan keindahan sekaligus kegersangan Brazil. Cerita adaptasi yang menarik, menegangkan dan rapi, akting dari para pemeran yang sempurna (terutama Jose Dumont yang berperan sebagai ayah Tonho) dan tentu saja penyutradaraan yang baik oleh Salles menjadikan film ini dinobatkan oleh banyak kritikus film internasional sebagai salah satu film terbaik Brazil yang pernah dibuat (bersanding dengan Pixote, The Given Word, The Oyster and the Wind, Who Killed Pixote, City of God, Central Station dan 4 Days in September).

Behind the Sun dinominasikan film berbahasa asing terbaik BAFTA dan Golden Globe 2002, meraih Little Golden Lion Venice Film Festival 2002, Silver Daisy Awards Brazil 2002, penghargaan sebagai sutradara terbaik untuk Salles dari Havana Film Festival 2002 dan aktor terbaik untuk Rodrigo Santoro dari Premio Qualidade Brazil 2002.

Berhasil memikat publik dunia dengan Central Station dengan 2 nominasi Oscar tahun 1999, Walter Salles kembali membuktikan kepiawaiannya dalam menggarap film. Meski kali ini tidak menembus perhelatan tertinggi Hollywood tersebut, tetapi cukup memperlihatkan Salles mampu mempertahankan kualitasnya. Dan dari beberapa kritikus film, Behind the Sun dianggap lebih sempurna dari Central Station, Oscar tidak selalu menjadi jaminan terbaik atau tidak. 

Kamis, 10 Maret 2011

Biola tak Berdawai (Indonesia.2004)


Dir : Sekar Ayu Asmara
Cast : Ria Irawan, Nicholas Saputra, Jajang C Noer dan Dicky Lebrianto

Ketika dulu film ini rilis bioskop tanah air tahun 2004, entah kenapa tidak begitu berminat untuk menonton, sedikit menyesal karena kemudian agak susah juga untuk menemukan film ini dalam format video, beruntung kemudian Kineforum dalam rangka perayaan hari Film Nasional memutar film secara gratis. Sebagaimana kita ketahui film ini adalah karya Sekar Ayu Asmara sebelum menghasilkan Belahan Jiwa (2005) dan Pesan Dari Surga (2007). Jika pada Belahan Jiwa, sutradara ini mengambil misteri dunia pikiran manusia dan pada Pesan dari Surga mengambil misteri dunia setelah kematian, untuk film yang kirim resmi untuk berlaga pada ajang oscar 2005 ini bermain-main pada misteri hati manusia.

Renjani (31th) seorang wanita berkarakter lembut dan penyayang yang mendedikasikan hidupnya untuk mengasuh bayi-bayi dan anak-anak yang lahir dalam keadaan cacat dan tidak diinginkan oleh orang tua mereka, salah satu anak asuh yang memiliki hubungan cukup dekat dengannya adalah Dewa (Dicky Lebrianto). Pada usianya yang telah mencapai 8 thn Dewa, pertumbuhan fisik tidak seperti anak normal seusianya, karena fungsi jaringan otaknya yang tidak sempurna dan juga menderita tuna runggu dan tuna wicara. Renjani dibantu oleh Mba Wid (Jajang C Noer), seorang dokter anak yang juga berprofesi sebagai seorang peramal dengan media kartu tarot. Berdua mereka menjalankan fungsi rumah milik Renjadi menjadi rumah asuh untuk anak-anak yang kurang beruntung tersebut, bahkan mereka sudah terbiasa menghadapi kematian demi kematian yang selalu mengejar hidup anak-anak cacat yang mereka asuh.

Suatu hari tanpa sengaja Dewa menemukan sebuah kotak yang berisi sepasang sepatu balet milik Renjani hal ini kemudian perlahan membuka tabir masa lalunya. Dihadapan Dewa, Renjani kemudian mempertontonkan sisa sisa kemampuannya untuk menari. Dewa mengangkat wajahnya melihat Renjani menari, tentu ini adalah kemajuan yang pesat untuk Dewa karena selama ini Dewa selalu menunduk. Kejadian luar biasa menurutnya ini kemudian memberi semangat untuk membantu proses penyembuhan Dewa dengan terapi Musik. Renjani membawa Dewa pada sebuah resital Biola yang kemudian mempertemukannya dengan Bhisma (Nicholas Saputra) seorang pemain biola. Hubungan mereka berlanjut karena Dewa seperti menyukai kehadian Bhisma diantara dia dan Renjani. Mba Wid yang pernah meramalkan bahwa Renjani akan bertemu seorang yang mencintainya meminta Renjani untuk membina hubungan serius dengan Bhisma, karena menurutnya Bhisma adalah pribadi yang menarik. Dengan alasan perbedaan usiayang cukup jauh karena Bhisma lebih muda darinya, Renjani berusaha untuk membatasi hubungan hanya sebatas teman biasa.

Hubungan mereka semakin dekat, Bhisma menunjukkan keseriusannya, dia bahkan membuat sebuah karya musik untuk membantu proses kesembuhan Dewa. Dia memainkan biola, Renjani menari, dan benar saja, Dewa kembali mengangkat kepalanya menikmati suguhan itu, tetapi semua berakhir penolakan Renjani pada usaha Bhisma untuk memeluknya merayakan keberhasilannya mereka tersebut dan bahkan Renjani mengusir Bhisma.

Ternyata penolakan-penolakan Renjani terhadap bukan hanya semata masalah perbedaan usia yang jauh diantara mereka, sebuah trauma dari masa lalunya yang masih menghantuinya dan tidak dengan mudah untuk dilupakan begitu saja, apalagi kemudian semua itu tidak hanya meninggalan beban mental padanya tetapi juga beban fisik yang begitu menyiksa hari-harinya.

Fase kesedihan dan kesunyian yang diadaptasi menjadikan film ini terasa terlalu lambat dan berat untuk dinikmati, ada beberapa bagian film bahkan sangat membosankan, perpindahan scene ke scene, frame ke frame terlalu lama, sehingga dibeberapa adegan berakhir dengan antiklimaks, dan membuat penonton tidak sabar untuk menanti film berakhir dengan begitu saja melupakan film ini. Hal ini sangat disayangkan karena film ini memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi film bagus dengan ide cerita yang cukup menarik.

Ria Irawan bermain baik sebagai Renjani, dia berhasil membuktikan dirinya sebagai salah satu aktris watak Indonesia yang mampu memainkan karakter apa saja, Renjani yang tegar dan kuat tetapi rapuh di dalam dipersembahkannya dengan sangat baik, tidak salah kemudian dia berhasil menjadi aktris terbaik dari Festival Film Asia 2005. Nicholas Saputra sebagai Bhisma yang ‘dipaksa’ bermain sebagai karakter yang jauh lebih tua dari umur sebenarnya dengan rambut gondrong dan kumis tipis (cukup mengganggu melihatnya) tampak sangat berusaha keras untuk memasuki Bhisma, meski tidak sebaik perannya dalam Gie atau Janji Joni, dia layak diberi kredit lebih.

Yang terasa sedikit mengganggu adalah karakter Mba Wid yang semakin kebelakang menjadi semakin terasa konyol dengan selalu mempertanyakan banyak hal menjadi sebuah teka teki aneh, dan dengan dialog-dialog yang terlalu lambat, lama dan pada beberapa bagian terasa terlalu teatrikal. 

Entah bagaimana casting director film ini berhasil menemukan Dicky Lebrianto yang berperan sebagai Dewa, meski hampir sepanjang film, tidak ada dialog yang diucapkannya Dicky dengan sukses memberikan penonton seorang Dewa yang cukup misterius.

Suasana Jogja yang hening berhasil disuguhkan dengan baik, gambar-gambar yang cukup menarik ditampil dengan warna-warna yang natural dan baik, terbantu dengan set dan art film yang mengambil banyak ornamen tradisional jawa, yang sangat menganggu adalah selalu banyak lilin bertebaran dimana-mana yang bahkan terasa sangat berlebihan dan menganggu tingkat keseriusan film ini, atau mungkin untuk menguatkan karakter mba Wid yang seorang peramal, tetapi masih tetap saja sangat berlebihan dan mengganggu.

Terlepas dari itu film sederhana ini cukup berhasil memaparkan sebuah dilema berat dari trauma masa lalu yang begitu kuat menghantui hidup seseorang, dan alur yang lambat dan pelan seperti sebuah kesengajaan untuk menambah rasa sedih, pilu, hampa, dan sakit dari karakter utama film ini.

Rabu, 09 Maret 2011

Langitku Rumahku (Indonesia.1989)




Sutradara: Slamet Rahardjo
Skenario: Slamet Rahardjo, Eros Djarot
Pemain: Banyu Biru, Soenaryo, Pietrajaya Burnama, Suparmi, Yatie Pesek, Andri Sentanu, Untung Slamet

Slamet Raharjo menulis, memproduseri dan menyutradarai film ini. Untuk naskah, aktor senior ini menulisnya bersama Eros Djarot serta memilih dan mempercayai anak dari Eros Djarot, Banyu Biru untuk menjadi pemeran utama dalam film yang dikirim resmi oleh Indonesia berlaga pada ajang Academy Award tahun 1991 (menjadi film Indonesia ketiga yang resmi dikirimkan setelah Naga Bonar dan Tjoet Njak Dien, tahun 1988 dan 1990).

Film ini mengambil premis benturan pemahaman berbeda tentang kehidupan antara dua anak kecil yang memiliki latar belakang ekonomi berbeda. Perbedaan tersebut justru membekali terbentuknya persahabatan diantara mereka. Sosok anak-anak dalam film ini ditampilkan lugu, jujur, sangat mudah akrab dengan siapapun. Ide sederhana ini diolah oleh Slamet Rahardjo dan Eros Djarot menjadi sebuah kisah petualangan mengasyikkan, menyentuh, mengaharukan dan membuat kita sebagai penonton tertawa sekaligus menyadari sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini, yaitu sebuah persahabatan abadi yang sulit untuk ditemui, terutama pada zaman ‘individualisme’ seperti sekarang ini.

Andri (Banyu Biru) adalah seorang anak yang cerdas, pintar, mengemaskan, namun terkadang juga mengesalkan, terutama mungkin bagi kakaknya (Andri Sentanu). Ayah mereka seorang pengusaha yang cukup sukses, diperlihatkan dengan dia mampu memiliki 3 orang pembantu dan 1 orang supir, dan tidak begitu sering berada di rumah, sehingga Andri dan kakaknya lebih banyak berhubungan dengan para pembantu dan supir tersebut. Semua keperluan mereka, tentu terutama Andri yang masih kecil disiapkan oleh pada pembantu.

Sementara itu pada sudut lain Jakarta, di sebuah lokasi pemukiman para pemulung adalah Gembol (Soenaryo), seorang anak seusia Andri, yang merasa bahwa dirinya tidak pernah bisa beruntung karena harus meninggalkan sekolahnya di  desa, ikut memulung bersama orang tuanya dan hidup melarat di Jakarta. Meski hidup susah, Gembol tetap bersemangat untuk belajar. Beberapa kali dia mendatangi sekolah Andri dan mengikuti pelajaran dari luar kelas. Tetapi suatu waktu nasip naas menimpanya, karena ketahuan mengintip kelas dan dituduh sebagai maling, Gembol ditangkap dan diadili, untungnya pihak sekolah Andri melepaskan setelah Gembol mengaku sebagai pemulung, mengumpulkan kertas, koran dan majalah bekas untuk kembali dijual. Pihak sekolah kemudian membantu Gembol dengan mengumpulkan kertas dan koran bekas di sekolah untuk kemudian dibawa oleh Gembol, inilah yang menjadi awal pertemuan Gembol dengan Andri.

Andri tertarik melihat kehidupan Gembol, bahkan Andri berjanji akan memberikan Gembol, koran dan majalah bekas dari rumahnya. Gembol sangat senang sampai memberikan sebuah nama kecil/nama panggilan untuk Andri, Bung Kecil. Andri sangat menyukai nama panggilan itu dan bahkan meminta semua orang di rumah untuk memanggilnya dengan nama itu.

Sejak pertemuan ini hubungan Andri dan Gembol semakin dekat. Andri yang terbiasa dengan rutinitas membosankan, menemukan sesuatu yang selama ini dicarinya yaitu kebebasan yang dimiliki oleh Gembol. Sebaliknya Gembol begitu ingin menjadi orang kaya dan bisa hidup enak, hal inilah kemudian yang semakin membuat akrab hubungan mereka. Sampai suatu ketika lokasi pemukiman Gembol mengalami penggusuran dan dia tidak bisa menemukan kedua orang tuanya karena menurut Mbah Uyeng (Untung Slamet) salah satu pengemis penghuni pemukiman itu, orang tuanya dibawa oleh petugas. Gembol bersedih, tidak tahu harus berbuat apa, Andri berusaha menawarkan Gembol untuk sementara tinggal dirumahnya, tetapi Gembol memutuskan untuk pulang ke desanya di Madiun. Inilah kemudian yang mengawali petualangan seru mereka berdua.

Beberapa adegan menarik berhasil membuat penonton tertawa, terutama adegan-adegan Andri bersama Mbok Balong yang menjadi ‘scene stealer’ untuk film ini. Dengan sangat wajar interaksi Andri dan Mbok Balong menjadi scene yang selalu dinanti. Seperti pada adegan Mbok Balong berbicara dengan foto almarhummah ibu Andri karena Andri susah untuk diminta mandi, Andri akhirnya dengan terpaksa mengikuti perkataan Mbok Balong. Dan masih ada Beberapa adegan lain yang memperlihatkan kedekatan unik antara Andri dan Mbok Balong.

Film dengan cerita sederhana dan menyentuh ini mengambil pola dongeng untuk anak, atau sesuatu yang memang hanya akan terjadi dalam film saja, karena memang sulit untuk menemukan hal seperti  itu terjadi di Jakarta. Adegan terasa sangat mendidik dan dibuat-buat, terutama bagi para pemain amatir yang baru pertama kali main film. Mereka mengucapkan dialognya seperti sebuah rangkaian puisi yang terlalu indah untuk diucapkan oleh anak-anak atau pengemis, karena dilakukan dengan akting kurang wajar, dan bahkan dengan bahasa tubuh berlebihan sehingga rasa dialog tersebut tidak terlalu bisa diresapi dengan baik. 

Terlepas dari hal tersebut, film ini memang dipersembahkan untuk anak-anak indonesia. Anak-anak beruntung diminta untuk melihat “ke bawah” supaya mereka bisa mengetahui bahwa banyak sekali anak-anak seusia mereka yang tidak beruntung  agar bisa lebih rasa rendah hati dan peduli pada sesama.

Pada FFI 1990 film ini hanya mendapatkan satu piala Citra untuk penata artistik terbaik  dari 8 nominasi  yang diperolehnya untuk film, sutradara, naskah, pemeran pendukung pria, pemeran pendukung wanita, cinematografi, penata suara

Rate: 7/10

Minggu, 06 Maret 2011

Animal Kingdom (Australia.2010)

Dir : David Michod
Cast : James Frecheville, Ben Mendhelsohn, Jackie Weaver, Joel Edgerton, Sullivan Stapleton, Luke Ford and Guy Pearce


Animal Kingdom menjadi salah satu hits dari Australia yang populer menjelang oscar tahun ini, selain karena penampilan Jackie Weaver yang berhasil mencuri perhatian para voters oscar untuk memberikannya kepercayaan menjadi salah satu aktris pendukung terbaik tahun ini, film ini memberikan premis cerita yang menarik dengan berlatar dunia kriminalitas Melbourne Australia yang jarang menjadi konsumsi publik dunia.

Animal Kingdom disini mengambil sebuah perumpamaan pada kehidupan para kriminal-kriminal yang dengan leluasa melakukan berbagai macam tindak kejahatan tanpa kompromi dan seperti mendapatkan dukungan dari keluarganya serta tidak mudah untuk disentuh oleh pihak yang berwenang, hanya hukum alam yang pada akhirnya menjadi semacam lembaga hukum otomatis membiarkan individu dengan kekuasaan, kekuatan dan keberanian paling besar yang akan menjadi pemenang, bahkan tidak peduli saingan tersebut adalah kerabat sendiri, persis seperti dunia binatang tanpa toleransi dan nurani.

Animal Kingdom mengantarkan kisah keluarga Cody, sebuah keluarga yang entah bagaimana kedua orang tua mereka ‘berhasil’ mendidik semua anaknya menjadi kriminal, dengan sudut pandang J (dimainkan oleh pendatang baru James Frecheville) yang belum genap berusia 18thn tetapi sudah harus membiasakan diri untuk setiap hari menyaksikan tindak-tindak kejahatan yang dilakukan oleh 4 orang pamannya. J menjadi yatim piatu ketika dia menemukan ibunya meninggal karena overdosis, pilihan untuk kemudian tinggal bersama neneknya kemudian seperti menjadi pilihan yang salah buat J, hidup terpisah selama ini dari kerabatnya ini adalah keputusan Julia sang ibu untuk menjauhkan J dari pengaruh negatif keluarganya tersebut.

Animal Kingdom kemudian membawa kita dengan narasi dari J pada kesehariannya menghadapi, mempelajari dan membiasakan hidup berdampingan dengan gaya hidup tidak terkontrol dari 4 pamannya Pope, Baz, Craig dan Darren dan sang nenek (Jackie Weaver) yang dengan caranya selalu berusaha memberikan kehangatan kepada semua anggota keluarganya, walaupun dibeberapa kondisi terasa keharmonisan yang dia inginkan hanya ada dalam pikirannya sendiri. Pada saat yang bersamaan J juga menjalin hubungan dengan Nicky, teman sekolahnya.

Sebuah tragedi kemudian menjadi titik balik bagi J untuk seperti memikirkan kembali keterlibatanya dengan keluarga barunya ini karena kemudian tragedi tersebut mengiring berbagai masalah lain muncul dan mau tidak mau melibatkan J yang berakhir hanya sebagai korban.

Penembakan Baz oleh para aparat yang berakhir kematiannya menyulut dendam Pope, Craig dan Darren membalaskan rasa kehilangan mereka dengan melakukan pembunuhan terhadap dua orang polisi patroli malam yang sedang bertugas. Pihak yang berwajib kemudian menangkap mereka tetapi karena tidak ada cukup bukti untuk mendakwa, mereka akhirnya dibebaskan. J yang tidak tahu menahu tentang ini menjadi sasaran para tim penyidik untuk dijadikan saksi untuk dimintai keterangan dan mendapatkan perlindungan sebagai saksi dari pihak penyidik. Sampai kemudian terbunuhnya Nicky menjadi poin titik balik bagi J untuk bertahan melindungi dirinya sendiri dan membalaskan kesewenangan keluarganya sendiri terhadap apa yang dimiliki. Dalam hal ini J akhirnya mengambil posisi sebagai salah satu dari bagian keluarganya tersebut dengan memutuskan untuk menyelesaikan semuanya dengan cara hukum rimba.

New York Times mereviw film ini sebagai “An Australian answer to GoodFellas” . Sebuah review yang cukup membanggakan bagi David Michod sang director yang juga menulis sendiri naskah film ini. Sebuah crime drama dengan framing intensitas ketegangan yang terjaga konstan menjelang film ini berakhir, tidak ada disalahkan atau dibenarkan dalam film ini, semua orang merasa dirinya benar dan dengan leluasa bertindak tanpa kontrol dan pemikiran yang dalam, benar-benar sebuah perumpamaan yang begitu pas mengantarkan maksudnya film ini dengan judul Animal Kingdom.

Pendatang baru James Frecheville sebagai J, bermain polos tanpa beban, sebuah bentuk pembangunan karakter pada tingkat tekanan hidup dari sekitarnya diperlihatkan dengan baik. Tetapi yang benar-benar mendapatkan kredit lebih tentu Jackie Weaver, sang nenek yang dengan sepenuh hati berupaya memberikan segala yang terbaik buat semua anak-anaknya meski pada sisi lain sangat terasa sekali bahwa dia adalah iblis betina yang sangat kejam dan bengis, tidak salah kemudian tahun ini oscar memberikannya nominasi aktris pendukung terbaik.

The Tree (Australia/France.2010)

Dir : Julie Bertucelli
Cast : Charlotte Gainsbourg, Margana Davies, Martin Csokas, Christian Byers, Tom Russel & Aden Young


Film ini diapatasi dari novel “Our Father Who Art in the Tree” dari penulis Judy Pascoe, berkisah tentang sebuah keluarga kecil di daerah pedesaaan/pertanian Australia yang saling mendukung antara satu sama untuk menghadapi rasa kehilangan mendalam setelah ditinggal oleh ayah/suami yang sangat dicintai sekaligus sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga.

Dawn (Charlotte Gainsbourg) harus menghadapi kenyataan bahwa suami yang sangat dia cintai meninggal dunia di bawah pohon besar yang berada disamping rumah mereka, karena serangan jantung yang begitu tiba-tiba, dengan 4 orang anak yang masih semua dibawah umur, Dawn harus mampu memberikan contoh ketegaran mengadapi beban terberat yang sedang menyelimuti mereka, beruntung dia karena anak-anaknya adalah pribadi yang dididik mandiri, terutama Simone (Morgana Davies), anak perempuan satu-satunya yang terlihat begitu ikhlas menerima kepergian ayahnya.
Simone sering mengabiskan waktunya bermain di pohon besar itu. Suatu malam dia seperti mendapatkan sesuatu yang membuatnya yakin bahwa arwah ayahnya “bersemayam” pada pohon tersebut. Tidak mudah baginya untuk memberikan pengertian pada ibu dan saudara-saudaranya tentang apa yang dia rasakan. Perlahan ibunya dan salah satu kakak laki-lakinya diam-diam juga mulai merasakan hal yang sama.

Sampai pada fase dimana eksixtensi pohon tersebut mulai mempengaruhi hidup mereka secara keseluruhan, pohon seperti mengerti dengan apa yang mereka rasakan. Sang pohon seperti memulai “pendekatan” dengan ranting patah ke dalam rumah, merusak tempat penampungan air karena akar yang tumbuh memanjang dan tumbuh merambat ke dalam rumah. Masalah semakin berat buat anak-anak Dawn, terutama Simone, karena hubungan Dawn dengan George (Csokas), atasannya ditempat kerja yang mulai masuk dalam kehidupan mereka.

Karakter Simone adalah bagian paling menarik dari film ini, hampir semua scene-scene Simone adalah stealer scene dengan penampilan yang menawan, karakter anak berusia 8 thn ini dimainkan dengan begitu 'hidup', ceplas ceplos dan cerdas. Salah satu bagian yang menarik adalah obrolan-obrolan menarik dengan sahabat dekatnya, berbagai fantasi membayangkan masa depan mereka dengan detail imajinasi yang mengesankan.

Sampai saat ini dengan era yang sudah sangat maju, masih banyak orang-orang yang beranggapan bahwa arwah orang yang meninggal akan tetap selalu ada disekitar kita. Seperti halnya dalam film ini, kita tidak dibawa oleh sang sutradara pada pola pemikiran yang mistis tapi lebih mencoba untuk membiarkan memori kita lepas mengenang orang yang kita cintai dengan media lain yang memungkinkan kita untuk bisa lebih bereksplorasi tentang kehilangan, kasih sayang dan cinta. Seperti yang diperlihatkan oleh Simone yang begitu mencintai pohon tersebut.

Film memanfaatkan landscape countryside Australia yang indah. Charlotte Gainsbourg, seperti dalam semua film-filmnya selalu tampil total dan menawan. Kredit lebih tentu untuk Margana Davies yang berperan sebagai Simone, tampil lincah, ceplas ceplos dan cerdas, menjadikannya salah penampilan anak-anak terbaik sepanjang 2010 ini.

Dari Australian Film Institute 2010, film ini dinominasikan 7 kategori termasuk untuk Gainsbourg dan Davies yang sama-sama bersaing untuk aktris terbaik.

Overall 7/10 untuk film ini.

Looking for Eric (UK.2009)

Dir : Ken Loach
Cast : Steve Evets, Eric Cantona & Jon Henshaw


Film-film karya sutradara senior Inggris ini selalu wajib ditonton, dia selalu berhasil memberikan sebuah realita bahwa hidup tidak pernah mudah untuk dihadapi, masalah demi masalah tidak akan pernah selasai untuk datang dan pergi, entah seberapa merasa bahagia kita dari menit demi menit waktu berlalu dari hidup ini. Dan hanya orang bijak (atau berusaha bijak) yang selalu dengan sukses bisa melalui semuanya dengan penyelesaian yang baik buruknya yang memang memiliki konsekuensi tersendiri.

Sejak menonton Sweet Sixteen (2002) gue selalu menanti karya-karya terbarunya dan mencari karya-karya sebelumnya yang pernah dibuat. Termasuk untuk film produksi 2009 ini.

Film ini bukanlah karya terbaik sutradara yang menolak dari hinggar binggar Hollywood ini, (Sweet Sixteen, 2002 dan The Wind that Shakes the Barley, 2006, adalah 2 karya terbaiknya), tetapi seorang masterpiece seperti Loach, selalu memberikan sebuah karya yang punya kualitas baik.
Adalah Eric, seorang pegawai kantor pos, dia harus hidup dengan 2 anak laki-lakinya, tidak begitu jelas kenapa salah satu anaknya berkulit hitam, entah anak angkat atau bagaimana, tidak ada penjelasan detail tentang itu. Dia harus menghadapai kebandelan dua anak laki-lakinya yang sedang berkembang dan susah untuk di kendalikan. Belum lagi masalah dengan masa lalunya yang selalu menghantui hidupnya bertahun-tahun. Selain itu kesehariannya di habiskan berkumpul bersama kerabat bekerjanya menikmati pertandingan bola, mereka pendukung berat club Manchester United.

Saat masalah sudah begitu menumpuk dia akhirnya menciptakan dunia sendiri, dunia dimana dia bisa dengan leluasa berbicara dengan pemain MU idolanya Eric Cantona, dengan Cantona, dia bisa bercerita banyak, meminta saran, mengeluhkan segala hal yang sedang menjadi perhatiannya, bahkan berbicara layaknya sahabat lama yang saling mendukung.

Dunia Eric bersama Cantona inilah yang menjadi poin paling menarik film ini. Eric begitu tergantung pada Cantona, dan memang perlahan Cantona berhasil membawanya pada fase fase penyelesaian semua masalah yang dihadapinya, masalah Ryan anak lelakinya yang terjebak pada pergaulan gangster, Cantona jugalah yang membantunya mampu menghadapi beban berat untuk kembali bisa berkomunikasi dengan mantan kekasih (yang juga adalah ibu dari anak sulungnya) dimasa lalu. Tqu to Cantona.

Steve Evets yang berperan sebagai Eric, tampil dengan acting sangat memikat, sosok laki-laki inggris yang gila MU, keras, dan cinta pada keluarga. Sayang penampilannya tidak mendapatkan apresiasi banyak dari forum film di Inggris terutama Bafta.

Film ini pada porsinya berhasil memberikan sebuah drama kisah cinta sederhana yang kembali hadir pada seorang yang masih menyimpan rasa, dan masih punya sesuatu yang tentu menjadi penyemangat hidupnya, sesuatu yang memang harus dicari dan harus dihadapi sebarat apapun beban itu.

Satu catatan adalah film-film indie produksi Inggris selalu realistis, entah kenapa film-film ini begitu sulit untuk mendapatkan apresiasi lebih dari ajang Oscarnya negara ini, Bafta yang lebih cenderung memberika penghargaan pada film-film produksi hollywood.

Overall 7/10 untuk film ini.

Desire to Kill (South Korea.2010)

Dir : Jo Won Hee
Cast : Yoo Hae Jin, Cheon Ho Jin, Seo Hyo Rim, Lee Jeong Heon, Ra Mi Ran, Jeong Ahn Eun, Kim Sang Hwa


Baku hantam karena saling benci dengan tekanan rasa dendam mendalam bisa kita nikmati dari I Saw the Devil yang juga rilis tahun ini. I Saw the Devil dengan jelas membiarkan kita dari awal tahu siapa karakter protagonis dan antagonis dalam film ini, meskipun kebelakang kita jadi merasa karakter protagonis yang kita pihak justru melakukan tindakan-tindakan bak seorang antagonis karena rasa dendam yang dalam.

Tidak demikian dengan Desire to Kill, yang mengambil premis cerita yang sama persis dengan I Saw the Devil, tetapi saat pendekatan yang lebih kompleks pada penonton, karena pada perkembangan film berjalan memasuki paruh kedua film ini, penonton dibuat blur dengan latar belakang dendam yang terjadi antara kedua karakter utama film ini. Penonton yang dari awal dibuat percaya dengan karakter central protagonis film ini, kemudian diputarbalikkan dengan fakta yang kemudian justru meragukan semua hal karena karakter yang dari awal diperlihatkan sebagai antagonis justru menjadi korban dan perlahan bangkit menjadi protagonis.

Sebuah film dengan tingkat kerumitan naskah yang cukup baik dan membuat penonton akan dengan setia menunggu akhir drama yang penuh baku hantam, darah tetapi dengan unik terjadi dengan segala kekurangan yang harus dihadapi oleh kedua karakter utama yang adalah pasien sebuah rumah sakit karena menderita disorientasi fisik, mental, memori.

Min Ho dirawat dirumah sakit karena kelumpuhan, beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya karena sudah tidak punya lagi gairah hidup, tetapi dia kemudian kembali memiliki semangat hidup karena tak lama bersebelahan dengan seorang pasien Sung Up yang ternyata adalah orang yang telah membunuh kekasihnya dimasa lalu. Sung Up mengalami amnesia akut yang membuatnya lupa semua ingatannya. Perlahan Min Ho berusaha membalaskan dendamnya pada Sung Up dengan keterbatasannya itu. Berbagai cara dilakukannya, dengan pisau rumah sakit, stocking yang berisi sabun, permen gel dan tali.

Semua usahanya untuk membunuh Sung Up selalu berakhir dengan kegagalan, bahkan saat dia berhasil membuat Sung Up jatuh ke jurang justru dia menolongnya kembali karena tidak ingin membiarkan Sung Upmati dengan mudah, dia ingin Sung Up mati dengan penderitaan. Sung Up kemudian perlahan bisa mengingat dan memori-memorinya tentang Min Ho pun kembali dan justru inilah yang kemudian menjadi titik balik kisah ini karena kemudian Min Ho justru seperti pihak yang telah menghancurkan hidup Sung Up, sebuah kenyataan yang berhasil memutarbalikan fakta yang telah dibangun dari awal.

Siapa yang akan kita percaya, Sung Up atau Min Ho, mereka seperti mempermainkan penonton untuk berjuang meraih simpati dengan apa yang mereka percaya untuk bertahan hidup dan saling membenci satu sama lain dan kemudian untuk saling bunuh.

Sebuah twist luar biasa disiapkan untuk menjadi ending film ini dan tidak hanya untuk penonton tetapi juga untuk kedua karakter ini. Menuju akhir film ini kita disuguhkan adu jotos dua pasien rumah sakit yang menderita kelumpuhan untuk melampiaskan dendam dan bertahan hidup dengan semua keterbatasan fisik yang mereka miliki.

Cheon Ho Jin bermain sebagai Min Ho dan Yoo Hae Jin sebagai Sung Up, kedua aktor ini bermain total dan luar biasa, terutama Yoo Hae Jin yang adalah salah satu dari banyak aktor watak underrated Korea yang juga bermain luar biasa dalam Moss (2010), Truck (20
08), The King and the Clown (2005).

Jumat, 04 Maret 2011

Linha de Passe (Brasil.2008)


Dir: Walter Salles & Daniela Thomas

Cast : Sandra Corveloni, Joao Baldasserini, Vinicius de Oliveira, Jose Geraldo Rodrigues, Kaique Santos, Robert Audi & Denise Weinberg


Walter Salles menjadi salah satu sutradara asal negara terluas di Amerika Latin tersebut yang berhasil menaklukan Hollywood dengan karya-karyanya yang mendapatkan banyak kritikan positif dari kritikus film Amerika dan dunia. Sebut saja Foreign Land, Central Station, Midnight, Behind the Sun dan The Motorcycle Diaries yang berhasil meraih penghargaan dibanyak festival film international dan ajang penghargaan film termasuk di Amerika.

Mengangkat profile nyata hampir sebagian besar dari masyarakat Brasil, dengan potret kemiskinan, kriminal, sepakbola dan mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih. Walter Salles kembali berduet dengan Daniela Thomas untuk penyutradaraan. Ini adalah untuk yang ketiga kalinya mereka berduet dengan setelah Foreign Land (1996) dan Midnight (1999).  

Cleuza (dimainkan dengan sangat menyakinkan oleh Sandra Corveloni) seorang wanita berusia 40-an yang sedang hamil dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada sebuah pemukiman elite Sao Paulo, Brasil. Cleuza ternyata telah memiliki 4 anak laki-laki yang beranjak dewasa dan semua memiliki impian, cita-cita dan jalan hidup yang berbeda-beda. Uniknya adalah ke4 anaknya tersebut dari suami yang berbeda, dan tidak ada satupun dari anak-anaknya ini yang pernah mengenal sosok mereka. 

Denis (Joao Baldasserini) yang paling tua, mempunyai seorang anak perempuan berusia balita yang tinggal bersama ibunya dan bekerja sebagai kurir sepeda motor. Dinho (Jose Geraldo Rodriguez) berusaha hidup dengan menjadi pribadi yang taat beragama, melibatkan dirinya dalam banyak kegiatan keagamaan, aktif di gereja serta bekerja pada sebuah pom bensin. Dario (Vinicius de Oliveira) yang memiliki mimpi tinggi untuk menjadi pemain bola profesional Brasil tetapi menemui rintangan berat untuk meraih mimpinya tersebut. Dan paling bungsu Reginaldo (Kaique Santos), banyak menghabiskan waktunya di terminal-terminal bis karena berambisi mencari ayahnya yang menurut ibunya adalah seorang supir bis. 

Kehidupan Cleuza dan ke4 anaknya berjalan menapaki realita berat dengan segala keterbatasan, kekurangan dan ketidakmampuan yang tetap harus ditatap karena hidup terus berjalan, dan usaha gigih tidak selalu berbanding lurus dengan keberhasilan. Ada masanya dimana usaha keras tetapi berakhir dengan kegagalan dan hanya jiwa yang kuat yang mampu menerima kenyataan tersebut. Sebagian mungkin akan berakhir putus asa dan justru malah lari pada hal-hal yang tidak baik seperti tindak kriminal dengan merugikan pihak yang terkadang tidak memiliki hubungan langsung dengan kegagalan yang kita terima. 

Film yang hampir tampak seperti sebuah film dokumenter ini memang dengan sengaja membiarkan semua karakternya menapaki hidup yang semakin rumit dan berat, dan tidak terasa sesuatu yang berlebihan dan dibuat-buat karena naskah film ini memang mengadaptasi kehidupan masyarakat kelas menengah kebawah Brasil. Kemiskinan banyak menuntun mereka pada tindak kriminal tinggi yang sampai saat ini masih menjadi issue negara itu sendiri untuk dicari solusinya. 

Jauh berbeda dengan film-film Salles sebelumnya, film ini seperti dipersembahkan bagi keterpurukan banyak pribadi-pribadi yang hidup miskin, terbelakang dan membuang mimpi-mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih, dan sampai film ini berakhirpun penonton dan karakter-karakter dalam film ini biarkan begitu saja untuk terus menghadapi kenyataan-kenyataan yang mungkin masih akan terus pahit (atau tidak) untuk dihadapi. Sebuah akhir yang ditransferkan pada pikiran penonton bahwa hidup ini tidak akan pernah berakhir selama nyawa masih dikandung badan, waktu akan tetap bergulir dan sebagai manusia kita harus terus menjalaninya untuk menghadapi kenyataan baik dan buruknya. 

Jika dibandingkan dengan karya-karya Salles sebelumnya, film yang semua lokasi syutingnya benar-benar syuting di kota Sao Paulo ini terasa lebih menyentuh realita yang terjadi, meskipun secara pribadi saya menilai Behind the Sun dan Central Station masih menjadi karya terbaiknya, paling tidak membuktikan bahwa sutradara yang membuat debut Hollywoodnya dengan remake film film Jepang, Dark Water ini mampu menyutradarai berbagai genre film dengan baik.

Salah satu lagi yang selalu menjadi poin lebih dari karya-karya Salles adalah detail cinematografi, music dan editing yang baik. Berbanding lurus dengan naskah film ini, cinematografi yang dihasilkan film ini berhasil mengcapture realita masyarakat Brasil dengan gambar yang indah sekaligus keras, dengan editing yang baik dan musik film karya Gustavo Santaolalla yang makin menambah rasa perih menonton film ini. 

Film ini berhasil menjadi salah satu official selection pada Festival Film Cannes 2008 dan Sandra Corveloni berhasil mendapatkan penghargaan aktris terbaik, menjadikannya sebagai aktris Brasil kedua yang pernah meraih Cannes setelah Fernanda Montenegro tahun 1986, Corveloni juga berhasil menjadi aktris terbaik dari Premio Contogi Cinema Brasil 2008 dan Havana Film Festival 2008. Pada penghargaan Cinema Brasil Grand Prize yang anggap sebagai Oscarnya Brasil, film mendapatkan 8 nominasi termasuk untuk film terbaik. 

Salles kembali mengajak kembali Vinicius de Oliveira yang pernah kita kenal sebagai si muda Joseu yang mencari ayahnya dalam karya Salles sebelumnya, Central Station (1998), dan uniknya aktor ini hanya bermain pada 3 film karya Salles sepanjang kariernya. Untuk keperluan film ini, Vinicius dilatih bermain sepakbola secara profesional selama beberapa bulan.