Director & Screenplay: Hector Babenco
Based on Book: Jose Louzeiro
Cast:
Fernando Ramos da Silva – Pixote
Jorge Juliao – Lilica
Gilberto Moura – Ditto
Edilson Lino – Chico
Zenildo Oliveira – Fumaca
Marilia Pera – Sueli
Elke Maravilha – Debora
Tony Tornado – Cristal
Jordel Filho - Sapato
Hector Babenco terkenal dengan Carandiru (2003), Foolish Heart (1996), Ironweed (1987), Kiss of Spiderwoman (1985). Tetapi sebelum terkenal dengan film-film itu, dia pernah menghasilkan sebuah karya masterpiece untuk perfilman Brasil, yaitu Pixote (1981). Pixote menjadi wakil ribuan anak jalanan Brasil (dan bahkan mungkin dunia) yang menjadi korban dari segala keterpurukan kehidupan masyarakat Brasil. Korban dari orang tua yang tanpa tanggung jawab penuh memutuskan memiliki anak. Korban dari kemiskinan yang menguasai hampir semua taraf hidup masyarakat kelas bawah. Korban dari ketidakpedulian Pemerintah memberikan kesejahteraan untuk penduduknya. Korban dari rangkuman segala ketidakberdayaan dan ketidakpedulian semua pihak pada anak-anak yang lahir tanpa orang tua yang jelas, tanpa taraf hidup yang baik dan tanpa pendidikan yang memadai. Bahkan instansi yang disediakan untuk mengembalikan anak-anak jalanan pada masyarakat dengan memberikan bekal pendidikan justru menjadi tempat penyiksaan dan perangkap yang hanya menguntungkan para sipir dan polisi kotor.
Pixote dibuka dengan sebuah dokumenter pendek tentang bagaimana kondisi kehidupan masyarakat miskin di Sao Paulo, yang kemudian berakhir dengan profile Fernando Ramoas da Silva yang memerankan Pixote. Fernando adalah anak asli kawasan kumuh Sao Paulo. Pixote kemudian membawa penontonnya pada sebuah lembaga permasyarakatan khusus anak-anak dibawah 18 tahun yang memang sengaja didirikan untuk membentuk pribadi-pribadi anak-anak jalanan dengan bekal pendidikan. Melalui sebuah operasi, Pixote tertangkap dan digiring untuk menjadi penghuni lapas khusus ini. Bersama Pixote tertangkap juga Lilica (Jorge Juliao) seorang pemuda berusia 17 thn yang merasa terjebak dalam tubuh lelaki, ada juga Fumaca (Zenildo Oliveira), Dito (Gilberto Moura) dan Chico (Edilson Nino) yang kemudian menjadi karakter-karakter central dalam kisah hidup Pixote selanjutnya.
Tetapi bukan ‘perbaikan’ yang mereka terima dalam lapas ini. Sapato (Jordel Filho) yang menjadi kepala para sipir Lapas begitu semena-mena, bertindak kasar dan keras membentuk anak-anak tersebut menjadi pribadi-pribadi yang penuh kebencian. Mereka dituduh melakukan kesalahan-kesalahan dan tindak kriminal yang tidak pernah mereka lakukan. Bahkan entah untuk alasan yang tidak begitu jelas beberapa anak termasuk Pixote dipaksa untuk menjadi tersangka sebuah kasus kejahatan dan beberapa diantara mereka bahkan ditembak mati tanpa alasan. Termasuk yang dialami Fumaca yang cukup dekat dengan Pixote. Fumaca ditemukan di sebuah tempat pembuangan sampah dari keadaan sangat menyedihkan dengan luka disekujur tubuhnya. Untuk menutupi tindak kejahatan yang dilakukan oleh pada Polisi kotor ini, pihak pengurus Lapas membuat cerita bohong tentang perkelahian diantara para penghuni lapas dan mengorbankan salah satu penghuni lapas sebagai tersangka yang kemudian berakhir dengan kematiannya.
Atas dasar kemarahan yang memuncak Lilica mengerahkan semua anak-anak untuk melakukan pembakaran terhadap fasilitas Lapas tersebut. Hal ini memberikan kesempatan mereka untuk bisa kabur dari lapas tersebut. Bersama Lilica, Pixote, Chico dan Dito memulai hidup baru mereka dijalanan Sao Paulo dan bercita-cita untuk bisa segera ke Copacabana, Rio de Janeiro. Hidup dikota besar tidaklah mudah bagi mereka. Untuk menyambung hidup mereka berkelompok menjambret para pejalan kaki. Sampai kemudian mereka bertemu dengan Cristal (Tony Tornado) yang mempercayai mereka untuk menjadi penyalur kokaiin dari Sao Paulo ke Rio de Janeiro. Petualangan mereka menjual obat bius berakhir dengan kisah menarik dengan Sueli (Marilia Pera) seorang pelacur tua di Rio de Janeiro, yang kemudian justru mengubah dan menghancurkan persahabatan mereka untuk selamanya.
Babenco dengan gamblang mempersembahkan sebuah kisah dokudrama yang jujur dan apa adanya. Tanpa perlu dramatisasi yang berlebihan dengan realita nyata dihadirkan mendekati keadaan yang sedang dihadapi oleh Brasil pada saat itu dan bahkan hingga saat ini. Kejujuran yang dihadirkan film ini menguliti Pemerintah Brasil saat rilis tahun 1981, karena tanpa basa basi sebuah lembaga permasyarakatan untuk anak-anak terlantar dan bermasalah justru semakin memberi masalah berat bagi anak-anak itu sendiri. Sistem dan program yang diharapkan berjalan dengan baik justru sebaliknya. Sumberdaya manusia yang dipercaya untuk mengelola tempat ‘perbaikan’ tersebut justru menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan mereka untuk kepentingan sendiri. Bahkan hal ini menjadi endemik karena hingga sekarang permasalahan ini masih menjadi momok di Brasil (bisa dilihat film Quero (2007) yang juga berkisah hampir sama dengan film ini).
Detail paling menyedihkan adalah bahwa film ini telah dibuat hampir dua puluh lima tahun yang lalu. Film ini menjadi semacam catatan sejarah/dokumen dunia untuk kemiskinan dan kebejatan dan pahitnya lagi kondisi yang sama masih menjadi masalah yang sama sampai sekarang, mungkin hanya berubah sedikit saja. Satu hal yang cukup menarik dari film ini adalah bagaimana wajah Pixote seperti mengalami perubahan menjadi semakin “tua” dan “tua” menuju ending film. Entah bermaksud untuk memberikan pengertian bahwa Pixote dipaksa dewasa karena tinggal dijalanan menghadapi beratnya hidup.
Banyak sekali adegan brutal dan menyentuh yang dihadirkan Pixote. Bahkan terkadang terasa begitu miris dan pahit. Seperti saat Lilica dan Pixote menyanyikan sebuah lagu sendu tentang cita-cita sambil memandang kearah Copacabana. Atau ketika Pixote yang begitu mendambakan seorang ibu dibiarkan oleh Sueli menyedot putingnya. Tidak ada tendensi seksual, yang ada hanya seorang bocah yang haus akan perhatian dan rindu akan kasih sayang seorang ibu. Sungguh menyedihkan!
Yang menjadikan film ini semakin terasa sangat nyata adalah bagian akhir film yang dibuat tanpa ada embel-embel sad ending atau happy ending. Film dibiarkan berjalan menuju akhirnya sendiri mengikuti kemana kisah hidup Pixote akan membawanya. Tidak ada yang diselesaikan dalam film ini karena hidup terus berjalan. Pixote harus terus menemui puing demi puing jalan hidupnya tanpa bisa banyak kompromi. Bagian kisah film ini hanya menjadi sekelumit kisah hidup Pixote yang direkam dan Pixote terus berjalan menapaki jalan mencari kisah-kisah hidup selanjutnya.
Delapan tahun setelah film ini rilis, pemeran Pixote, Fernando Ramos da Silva ditemukan tewas. Menjadi sebuah pembuktian bahwa kerasnya hidup yang dijalani oleh Fernando yang memang adalah anak jalanan asli Sao Paulo. Kisah “Pixote” berakhir pahit dengan kematiannya. Sebuah film dari sutradara Jose Joffily dipersembahkan utk kematian Pixote produksi 1997 dengan judul Who Killed Pixote.
Pixote dinominasikan film berbahasa asing terbaik Golden Globe 1982. Menerima penghargaan film terbaik dari Boston Society of Film Critics Awards, Los Angeles Film Critics Association Awards dan New York Film Critics Circle Awards.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar