1. The Tree of Life (UK)
Director: Terrence Malick
Jika film bisa menjadi puisi, maka film Terrence Malick, The Tree of Life, adalah salah satu film tersebut. The Tree of Life adalah film non-linear dan eksperimental dengan visual yang tidak umum untuk melihat kehidupan dari sebuah keluarga di kota kecil pedalaman Amerika. The Tree of Life berfokus pada Jack, anak tertua dari keluarga tersebut. Jack, dihadirkan sejak kecil hingga dewasa. Melalui mata Jack, Malick membutuhkan selingan ke angkasa luar, lingkungan mikroskopis, dan bergerak ke masa dinosaurus, untuk mengeksplorasi ide-ide besar seperti penciptaan alam semesta dan agama. Selingan ini mengikat kisah film ini ke dalam busur dan dunia milik Jack yang perlahan-lahan menemukan dunia di sekitarnya, melalui ayah yang keras, cinta yang besar dari ibunya, kematian demi kematian yang kerap kali hadir diantara mereka dan pemberontakannya atas aturan-aturan yang menahan kebebasannya. The Tree of Life adalah sebuah perjalanan metafisik yang membuat penonton berpikir, merenung, dan mengenang masa lalu, dan menjadi sangat spesial karena tidak banyak film yang khusus melihat hal-hal tersebut selama ini.
Film dibuka dengan sebuah ayat dari Alkitab, yang kemudian mengadaptasi ayat tersebut menjadi garis cerita filmnya, tentang bagaimana setiap hal buruk yang bisa dibayangkan terjadi pada satu orang, namun ia masih mampu memuji Tuhan. The Tree of Life berhasil menampilkan hal tersebut dengak kisah Jack dan keluarganya dan tentu meninggalkan pertanyaan kepada penonton bagaimana hal buruk bisa kerap terjadi kepada manusia yang begitu taat padaNya. Malick memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu, karena dia juga tidak memiliki kapasitas untuk memberikan jawaban atas hal itu.
Film dibuka dengan sebuah ayat dari Alkitab, yang kemudian mengadaptasi ayat tersebut menjadi garis cerita filmnya, tentang bagaimana setiap hal buruk yang bisa dibayangkan terjadi pada satu orang, namun ia masih mampu memuji Tuhan. The Tree of Life berhasil menampilkan hal tersebut dengak kisah Jack dan keluarganya dan tentu meninggalkan pertanyaan kepada penonton bagaimana hal buruk bisa kerap terjadi kepada manusia yang begitu taat padaNya. Malick memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu, karena dia juga tidak memiliki kapasitas untuk memberikan jawaban atas hal itu.
The Tree of Life menerima penghargaan Palm D’Or Cannes 2011 dan 3 nominasi Oscar untuk film terbaik, sutradara terbaik dan sinematografi terbaik.
2. A Separation (Iran)
Director: Asghar Farhadi
Film baru Asghar Farhadi adalah sebuah melodrama yang menangkap tema tanggung jawab, kejujuran, cinta, religiusitas, dan pengorbanan. Film dimulai dengan argumen perceraian antara Simin (Leila Hatami) dan Nader (Peyman Moaadi) pada seorang hakim di pengadilan Iran. Melalui argumen mereka, alur cerita utama film menjadi jelas bahwa Nader dan Simin telah berencana untuk pindah ke Eropa untuk kehidupan yang lebih baik. Meskipun Nader tertarik dengan ide hidup di luar negeri, ia kemudian menolak karena ayahnya (Ali-Asghar Shahbazi) menderita Alzheimer dan butuh perawatan khusus. Mereka kemudian mempekerjakan Razieh (Sareh Bayat) untuk mengurus ayah Nader.
Bagian paling menarik dari film ini adalah naskahnya yang tidak mengambil pihak pada salah satu karakternya. Sebaliknya, semua orang tampaknya sama-sama benar dan salah pada waktu yang sama. Mereka semua terjebak dalam motif, ego, moralitas dan agama, uang dan kehormatan masing-masing. Bagaimana kemudian kita sebagai penonton digiring pada moral moral dari setiap karakter yang semakin menjelang film berakhir semakin terasa menipis. Entah pihak mana mestinya yang perlu kita dukung. Karena pada dasarnya penonton selalu melakukan tindakan pihak memihak, tetapi tidak untuk film ini. Dan inilah yang menjadi bagian menarik dan terbaik dari film yang berhasil meraih Oscar untuk film berbahasa asing terbaik dan nominasi untuk naskah asli terbaik.
A Separation hadir ditengah gempuran film-film fiksi ilmiah dengan teknologi tinggi yang justru miskin cerita. Film ini adalah contoh baik yang dapat membantu kita sebagai penonton untuk merevisi ide-ide tentang konsep penting seperti tanggung jawab, cinta, kasih, dan pengorbanan.
3. The Skin I Live In (Spain)
Director: Pedro Almodovar
Sama halnya dengan banyak film Almdovar sebelumnya, The Skin I Live In begitu sulit untuk dijelaskan dalam beberapa kalimat. Pertemuan hal-hal yang bertengangan dalam norma-norma sosial menjadi garis-garis yang semu yang perlahan kehilangan batas, dan tidak semua penonton bisa nyaman dengan hal tersebut. Film ini mengingatkan kita pada dua karya Almodovar sebelumnya yaitu Talk to Her (2002) dan All About My Mother (1999). Talk to Her yang menerjemahkan kisah cinta wanita yang koma dengan pemerkosanya. Sedangkan dalam All About My Mother, bagaimana seorang biarawati yang menderita AIDS bertemu dengan wanita yang bersuamikan seorang waria. Tapi di tangan Almodovar adalah karya seni yang indah. Sama hal untuk The Skin I Live In.
Seorang ahli bedah plastik (Antonio Banderas) menyimpan seorang wanita cantik (Elena Anaya) sebagai kelinci percobaan untuk membuat jenis kulit terbaru. Karakter yang diperankan Elena Anaya tampak sebagai metafora utama dari film ini, menjaga utuh ruang batinnya untuk terlepas dari apa yang terjadi pada tubuh. Seperti dalam kebanyakan film Almodovar yang selalu memiliki lapisan dan kompleks, film ini berkembang menjelang akhirnya dengan twist yang cukup menjanjikan.
Almodovar menggunakan treatment horor sebagai jalur untuk mengeksplorasi setiap pelanggaran kode moral yang diwujudkan oleh karakter. Dengan musik skor megah oleh Alberto Iglesias, Almodovar mencoba untuk menghasilkan sebuah genre yang sulit dan terbayar dengan hasil yang mengagumkan. Dengan detail desain produksi, sinematografi dan penata artistik yang memanjakan mata tetapi justru film ini tidak dengan mudahdinikmati. Bagi penonton yang tidak memiliki masalah dengan film horor Amerika di mana remaja mengintai, diperkosa dan dipotong-potong sedikit demi gergaji tetapi tidak dengan The Skin I Live In bahkan akan terasa sangat mencekam dan menegangkan.
Seorang ahli bedah plastik (Antonio Banderas) menyimpan seorang wanita cantik (Elena Anaya) sebagai kelinci percobaan untuk membuat jenis kulit terbaru. Karakter yang diperankan Elena Anaya tampak sebagai metafora utama dari film ini, menjaga utuh ruang batinnya untuk terlepas dari apa yang terjadi pada tubuh. Seperti dalam kebanyakan film Almodovar yang selalu memiliki lapisan dan kompleks, film ini berkembang menjelang akhirnya dengan twist yang cukup menjanjikan.
Almodovar menggunakan treatment horor sebagai jalur untuk mengeksplorasi setiap pelanggaran kode moral yang diwujudkan oleh karakter. Dengan musik skor megah oleh Alberto Iglesias, Almodovar mencoba untuk menghasilkan sebuah genre yang sulit dan terbayar dengan hasil yang mengagumkan. Dengan detail desain produksi, sinematografi dan penata artistik yang memanjakan mata tetapi justru film ini tidak dengan mudahdinikmati. Bagi penonton yang tidak memiliki masalah dengan film horor Amerika di mana remaja mengintai, diperkosa dan dipotong-potong sedikit demi gergaji tetapi tidak dengan The Skin I Live In bahkan akan terasa sangat mencekam dan menegangkan.
Fiksi adalah memang satu-satunya tempat dimana kita bisa dengan mudah menghadapi horor dan gore sebagai metafora untuk kelemahan manusia, tempat di mana kita tidak perlu bersembunyi dari setan kita tetapi kita bisa berbicara dengan mereka.
The Skin I Live In menerima penghargaan Best Film not in English Language dari BAFTA 2012 menyingkirkan saingan terkuatnya A Separation (Iran.2011).
4. Tinker Taylor Soldier Spy (UK)
Director: Tomas Alfredson
Tomas Alfredson pernah sukses dengan Let the Right One In yang kemudian diremake Hollywood dengan judul Let Me In. Tinker Taylor Soldier Spy adalah debut karya internasionalnya yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya John Le Carre. Tinker Taylor Soldier Spy hadir sebagai sebuah film spionase ala James Bond dan Bourne. Tetapi berbeda dengan film-film tersebut yang mengandalkan aksi kebut-kebutan dahsyat, limpahan berbagai macam gadget terbaru dan spesial efek yang memanjakan mata, film ini hadir sederhana, tetapi membangun ketegangannya dengan cerita dan akting mumpuni dari semua pemainnya. Ketegangan yang dihadirkan film ini dari tumpukan dan lapisan plot yang menarik untuk ditunggu hingga film ini menuju akhirnya.
Tomas Alfredson mungkin bangga bisa menyandingkan aktor-aktor senior dan junior Inggris dalam satu film, dan ini sangat menguntungkan film itu sendiri karena penampilan mereka tidak mengecewakan, ditambah lagi dengan naskah hasil tulisan duet Bridget O’Connor dan Peter Straughan yang memberi nilai paling menarik dari film ini. Tidak salah kemudian naskah film ini menerima penghargaan naskah adaptasi terbaik dari Bafta 2012 dan mendapatkan nominasi oscar untuk kategori yang sama.
Gary Oldman akhirnya menerima nominasi Oscar pertamanya untuk Pemeran Utama Pria terbaik. Tentu dia sangat berterima kasih sekali kepada Tomas Alfredson yang mengarahkannya dengan baik dalam Tinker Taylor Soldier Spy. Para penggemarnya tentu puas menjadi saksi sejarah Oldman akhirnya disejajarkan dengan aktor-aktor kaliber Oscar lain seperti George Clooney dan Brad Pitt yang jika lebih diamati lagi memiliki kemampuan akting diatas keduanya. Meskipun Oscar akhirnya diberikan kepada Jean Dujardin (The Artist), kita semua tetap puas, penantian Oldman untuk mendapatkan pengakuan dari penghargaan film paling bergensi di seluruh dunia akhirnya terwujud dan memang sudah sepantasnya dia diberikan apresiasi pada penghargaan sekelas Academy Awards.
5. Tyrannosaur (UK)
Director: Paddy Considine
Tyrannosaur adalah debut penyutradaraan Paddy Considine untuk film panjang. Sebelumnya dia telah membuat beberapa film pendek dan salah satunya adalah semacam teaser untuk filmnya ini. Considine sebelumnya dikenal sebagai salah satu aktor watak Inggris yang hampir selalu main pada film-film independen dengan penampilan yang luar biasa. Sebut saja A Room for Romeo Brass, Last Resort, 24 Hour Party People, In America, Dead Man's Shoes, My Summer of Love dan Submarine.
Tyrannosaur berfokus pada dua karakter utama, Joseph (Peter Mullan) dan Hannah (Olivia Colman), yang bertemu dengan cara yang cukup mustahil, Joseph tiba-tiba saja berlari ke dalam toko amal milik Hannah dan bersembunyi di rak pakaian. Hubungan mereka kemudian berkembang karena terbuka kenyataan selanjutnya bahwa ternyata mereka saling membutuhkan.
Peter Mullan menawan sekaligus mengerikan sebagai Joseph. Dia tampak mengerikan pada opening dan closing film dengan memberikan "aksi ledakan" yang mengerikan pada dua anjing yang kurang beruntung. Namun yang paling beresonansi dengan sempurna adalah Olivia Colman sebagai Hannah. Aktris ini membuktikan bahwa dirinya bukan hanya sekedar komedian Inggris yang kerap kali berhasil membuat orang tertawa, tapi kali ini sebuah penampilan berbeda dari belasan serial televisi yang pernah dia bintangi. Sebuah penampilan yang berhasil membuat penonton bersimpati, bersedih dan menangis mengikuti penderitaan Hannah yang dibawakannya.
Tyrannosaur bukanlah film yang membuat penonton merasa hangat. Bahkan dengan adegan kedekatan pada akhir film antara Joseph Hannah yang saling menyentuh tangan dan bertukar senyum dengan lembut, seperti secara tidak langsung memberikan pengertian bahwa ini bukan sebuah film cinta picisan yang berakhir dengan semua orang akan senang, tetapi sebuah ikatan emosional yang lebih dalam dari sekedar itu dan biarkanlah Joseph dan Hanna menentukan sendiri bagaimana hidup mereka selanjutnya.
6. We Need to Talk About Kevin (UK)
Director: Lynne Ramsey
We Need to Talk About Kevin menjadi salah satu film paling mengerikan tahun ini. Lynne Ramsey berhasil mendikte penonton untuk menatap layar bioskop dan memamerkan ketegangan yang menakutkan dari hubungan anti sosial dari ibu dan anak tanpa musik yang mengerikan, tanpa sosok yang menyeramkan dan tanpa bercak darah dimana-mana. Sebuah film yang menakutkan dengan fokus pada dua karakter dan hubungan mereka yang rusak dan saling menghancurkan.
We Need to Talk About Kevin dengan cemerlang mencekam dan menyisakan efek menakutkan yang mungkin sulit untuk dilepaskan setelah menonton film ini. Bahkan pada beberapa review membandingkan film ini dengan The Omen (1976) dan The Exorcist (1973). Secara umum film ini membawa momentum yang kuat dan mengganggu sampai kredit akhir. Jika menyukai Elephant (2003) maka film ini menjadi salah satu bagian spin off dari drama dokumenter karya Gus Van Sant tersebut..
Tilda Swinton memberikan kinerja yang benar-benar hebat dan meskipun thread utama dari cerita ini jelas hampir dari awal, bahwa ini adalah Swinton show, tetapi semua pemain bermain hebat berhasil menjaga penampilan terbaik mereka hingga film ini berakhir.
Salah satu aspek paling menarik dari film ini adalah menunjukkan bahwa anak-anak bisa melakukan sesuatu yang diluar kendali pikiran dan daya mereka jika orang tua memberikan segala hal tanpa pengawasan dan perhatian yang baik.
Tilda Swinton memberikan kinerja yang benar-benar hebat dan meskipun thread utama dari cerita ini jelas hampir dari awal, bahwa ini adalah Swinton show, tetapi semua pemain bermain hebat berhasil menjaga penampilan terbaik mereka hingga film ini berakhir.
Salah satu aspek paling menarik dari film ini adalah menunjukkan bahwa anak-anak bisa melakukan sesuatu yang diluar kendali pikiran dan daya mereka jika orang tua memberikan segala hal tanpa pengawasan dan perhatian yang baik.
7. The Kid with a Bike (Belgium)
Director: Jean Pierre & Luc Dardenne
Director: Jean Pierre & Luc Dardenne
The Kid with a Bike menerima nominasi film berbahasa asing terbaik Golden Globe 2012.
Jean Pierre Dardenne dan Luc Dardenne terkenal dengan Lorna’s Silence (2008), The Child (2005) dan The Son (2001). Jeremy Renner yang pernah tampil dalam The Child, kembali mengulang peran yang hampir serupa dalam The Kid with a Bike. Film ini tersirat seperti sekuel dari The Child dengan premis yang sama dan menggunakan sudut pandang sebaliknya. Cyril (dimainkan mengesankan oleh Thomas Doret, perhatikan adegan setelah Cyril bertemu ayahnya) yang berusia sekitar 12 tahun, ditinggalkan oleh ayah yang pecundang untuk dirawat pada sebuah panti asuhan. Dia terobsesi mencoba untuk kembali bersatu dengan ayahnya, dan dalam proses tersebut, Cyril bertemu dengan Samantha (Cecile de France) yang berhasil menemukan sepedanya dan membiarkan Cyril mengunjunginya setiap akhir pekan.
The Kid with a Bike terasa begitu dekat dengan penonton karena cara kerja kamera handheld. Gerak kamera seperti menempatkan penonton pada kehidupan Cyril dan tanpa terhalang jarak bisa merasakan langsung bagaimana dia melalui hidupnya. Dan kedekatan yang begitu nyata ini membuat The Kid with a Bike terasa seperti sebuah dokumenter yang menyenangkan sekaligus menyedihkan.Karakter Cyril dari awal yang ditampilkan menyebalkan seperti sengaja dibiarkan untuk menghindari simpati yang berlebihan dari penonton, meskipun pada akhirnya penonton bersimpati tetapi bukan untuk mengasihani Cyril, sebuah treatment yang cukup menarik. Thomas yang berperan sebagai Cyril memberikan penampilan yang mengesankan untuk debut layar lebarnya.
8. Archipelago (UK)
Director: Joanna Hogg
Archiepelago memuat analisa pertentangan isu liburan dengan kenyataan yang menyakitkan dan tidak menyenangkan dalam sebuah keluarga. Pada dasarnya liburan bertujuan untuk melepas diri dari rutinitas dan kepenatan akan berbagai masalah yang justru kemudian menghantui keluarga yang disorot oleh Joanna Hogg dalam film ini. Kekosongan rasa dan ketidakpedulian antara setiap anggota keluarga menjadi titik awal liburan menjadi mimpi buruk buat mereka semua.
Archipelago berhasil menggambarkan karakteristik yang baru dan berbeda dari kisah disfungsional keluarga. Dengan cemerlang film ini menyampaikan setiap kejanggalan interaksi antara karakter dengan sangat baik dan menyakinkan melalui sentuhan-sentuhan komedi pada dialog-dialog omong kosong antara mereka.
Ada semacam rasa unik dan sesak ketika menonton Archipelago, bahwa kekayaan dan berbagai macam kesempatan akan materi yang didapatkan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagian batin dan dalam film ini hal tersebut menjadi buih buih kepahitan hidup, pertentangan dan ketidakharmonisan dari jalan hidup setiap karakternya.
Ada semacam rasa unik dan sesak ketika menonton Archipelago, bahwa kekayaan dan berbagai macam kesempatan akan materi yang didapatkan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagian batin dan dalam film ini hal tersebut menjadi buih buih kepahitan hidup, pertentangan dan ketidakharmonisan dari jalan hidup setiap karakternya.
Film ini menerima 3 nominasi Evening Standard British Awards 2012 untuk film terbaik, aktor terbaik untuk Tom Hiddleston dan naskah terbaik. Tom Hiddleston yang terkenal sebagai Loki dalam debut internasionalnya dalam Thor bermain dalam film ini sebagai Edward.
9. Bridesmaids (US)
Director: Paul Feig
Bridesmaids adalah drama komedi satire menyindir kesombogan, kekosongan jiwa dan kemunafikan akan cinta, hubungan sosial dan usaha untuk mendapatkan pengakuan dari orang-orang sekitar. Film ini menyentuh relung paling sensitif akan kehidupan karena begitu jujur memamaparkan bagaimana usaha-usaha manusia di dalamnya untuk mendapatkan cinta, pengakuan dan kebahagian. Kristen Wig yang menuliskan sendiri naskah untuk film ini juga tampil sebagai karakter utama dan memberikan sebuah penampilan terbaik sepanjang kariernya, begitu juga Melissa McCarthy dan Rose Byrne.
Bridesmaids tampil bak versi perempuan dari The Hangover. Film ini dengan jujur memaparkan bagaimana sebenarnya perempuan yang selalu tampil anggun dan cantik dalam film-film khas Hollywood juga memiliki kekurangan, cela dan ketidaksempuranaan yang selama ini selalu berusaha untuk ditutup-tutupi. Bridesmaids jujur sekali dengan membiarkan perempuan menjadi bahan olok-olok oleh perempuan lain, bagaimana mereka bisa berbicara tentang alat kelamin mereka sendiri, bagaimana ketidaksempurnaan ditonjolkan dengan sangat detail dan jelas.
Bridesmaids adalah sebuah “film besar” untuk humor perempuan, karena film-film komedi yang selama ini didominasi oleh aktor laki-laki dan karakter perempuan lebih menjadi pendamping. Selamat untuk Kristen Wiig, Annie Mumolo dan Paul Feig yang membuat perempuan terasa lebih manusiawi dalam film ini.
Director: Michael R. Roskam
Bullhead menerima nominasi Film Berbahasa Asing terbaik bersanding dengan A Separation (Iran), In Darkness (Polandia), Footnote (Israel) dan Monsieur Lazhar (Canada).Terpilihnya Bullhead menjadi 5 dari yang terbaik tahun ini adalah sebuah kejutan karena sebelumnya tidak begitu diunggulkan.
Sebuah thriller mengesankan dan menegangkan tentang Jacky, seorang petani yang hidupnya berubah drastis setelah peristiwa dramatis dan traumatis di masa mudanya. Film ini dengan realistis menampilkan bagaimana distribusi, mafia hormon dan dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap orang-orang terlibat dan yang berada di sekitarnya. Kenyataan yang begitu jujur ditampilkan dengan cemerlang dan sangat kontroversi karena masalah yang disuguhkan begitu sensitif.
Bullhead semakin memberi identitas terhadap film-film Eropa yang selalu tampil real dan apa adanya, berbeda dengan film-film Hollywood, apalagi kisah yang diangkat dalam film ini berdasarkan kejadian nyata yang memang pernah terjadi di Belgia.
Bullhead semakin memberi identitas terhadap film-film Eropa yang selalu tampil real dan apa adanya, berbeda dengan film-film Hollywood, apalagi kisah yang diangkat dalam film ini berdasarkan kejadian nyata yang memang pernah terjadi di Belgia.
Drive (US)
Director: Nicolas Winding Refn
Sejak rilis perdana pada Cannes Film Festival 2011, Drive telah menjadi bahan pembicaraan banyak pihak, mulai dari kritikus, film blogger dan pengemar film action. Film ini menjadi "most wanted movie of 2011". Diadaptasi oleh Hossen Amini dari novel berjudul sama karya James Sallis, Drive dibuka dengan adegan pengenalan karakter utama dengan cukup informatif. Seorang Pria (Ryan Gosling) terlihat menyetir sebuah mobil di jalanan Los Angeles, dia menjemput dua orang pria yang terlihat terburu-buru. Mobil bergerak menghindari kejaran polisi dan berhasil kabur. Adegan ini cukup memberikan informasi profesi dari karakter yang diperankan Ryan Gosling yang sepanjang film tidak pernah disebut namanya. Gosling adalah supir untuk para kriminal untuk melancarkan aksinya. Selain sebagai pengemudi 'khusus' pada malam hari, pada adegan selanjutnya penonton mendapatkan informasi kedua bahwa sang supir adalah seorang stunt Hollywood pada siang hari, dan bekerja di sebuah bengkel milik Shannon (Bryan Carnston) serta bertetangga dengan Irene (Carey Mulligan) seorang wanita beranak satu, Benicio (debut aktor muda Kaden Leos) yang kemudian mengubah jalan hidupnya untuk selamanya.
Satu hal yang menjadi perhatian penulis adalah detail sinematografi, artistik, kostum dan soundtrack untuk film ini yang seperti memberikan penghormatan untuk film-film tahun 80-an. Font berwarna pink, jaket yang dipakai oleh Gosling, adegan-adegan action dengan suasana kota urban yang mengingatkan pada serial miami vice karya Michael Mann dan musik new wave elektronik dari Cliff Martinez yang semakin memberi rasa 80-an. Salah satu lagu soundtrack yang sangat berkesan memberi rasa untuk film ini adalah track A Real Hero dari College featuring Electric Youth. Lagu ini seperti sengaja dibuat untuk memberi kesan mendalam (Hero) pada karakter yang diperankan Ryan Gosling, mengiringi adegan Gosling dan Mulligan menghabiskan waktu bersama di pinggiran kota dan juga untuk akhir filmnya.
Drive memang bukan sebuah mahakarya namun tetap menjadi salah satu film yang diarahkan dengan baik tahun ini dan sangat pantas disandingkan dengan drama kriminal brutal terbaik yang pernah hadir sebelumnya seperti Goodfellas, Casino, Reservoirs Dog, Sexy Beast, City of God, American History X, Carlito's Way dan True Romance.Atas usahanya mengemas film ini dengan baik, Refn mestinya berhak menjadi salah satu sutradara yang diunggulkan sebagai yang terbaik tahun ini.
12. The Future (US)
Director: Miranda July
Miranda July disejajarkan dengan Asghar Farhadi dan Bela Tar pada Berlin International Film Festival 2011 untuk film ini pada kategori utama. The Future menawarkan kisah menarik dengan kualitas menawan, tentang Sophie and Jason yang secara radikal memutuskan untuk mengubah jalan hidup mereka yang justru kemudian menjadi ujian untuk hidup dan hubungan mereka sendiri.
Film ini mengawali kisah dengan drama percintaan biasa, tetapi dalam kenyataannya justru berkembang menjadi sebuah black comedy fantasy. Miranda Juli memberikan sebuah karya film menarik di mana penonton dapat memahami bagaimana bakat dan dunia imajinasi yang bebas bisa begitu kuat mempengaruhi seseorang dalam menghasilkan sebuah karya film. Penyutradaraan yang kuat dari July membuat The Future sangat pantas disejajarkan dengan film-film terbaik yang pernah diarahkan oleh sutradara-sutradara wanita sebelumnya seperti The Hurt Locker (Katryn Bigelow), Lost in Translation (Sofia Coppola) dan The Piano (Jane Campion).
Film ini mengawali kisah dengan drama percintaan biasa, tetapi dalam kenyataannya justru berkembang menjadi sebuah black comedy fantasy. Miranda Juli memberikan sebuah karya film menarik di mana penonton dapat memahami bagaimana bakat dan dunia imajinasi yang bebas bisa begitu kuat mempengaruhi seseorang dalam menghasilkan sebuah karya film. Penyutradaraan yang kuat dari July membuat The Future sangat pantas disejajarkan dengan film-film terbaik yang pernah diarahkan oleh sutradara-sutradara wanita sebelumnya seperti The Hurt Locker (Katryn Bigelow), Lost in Translation (Sofia Coppola) dan The Piano (Jane Campion).
Honorable Mention:
Once Upon a Time in Anatolia, Post Mortem, The Turin Horse, Meek’s Cutoff, 50/50, Pina, No Rest for the Wicked, Sunny & Norwegian Wood,